Monday, December 5, 2016

Kenangan-Kenangan akan St. Porfirius

Ditulis oleh  
Christopher Veniamin, diterjemahkan untuk RBO

Suatu kali, sewaktu saya masih mahasiswa Theologi di Universitas Tesalonika, Romo Zakarias mengajak saya untuk menemaninya berkunjung ke tempat Bapa Porfirius di Athena untuk menerima berkatnya. Saya menyetujuinya dengan semangat.

Kami terbang ke Athena dengan pesawat, dan itu merupakan penerbangan yang seru, sebab kami menyanyikan kidungan Kamis Kudus (Antifon Dua belas Injil) sepanjang perjalanan. Menjelang mendarat cukup menakutkan sih, sebab pesawatnya miring ke samping saat menurun hendak mendarat.

Kami tinggal di sebuah rumah yang kecil malam itu, dan semua yang saya ingat agalah saat saya bangun, saya mendengar Rm Zakarias berdoa. Saya ingin bergabung, namun saya tidak jadi sebab beliau sedang berdoa dengan sangat khusyuk. Saya juga ingat pagi itu saya makan apel yang terlezat seumur hidup saya.

Kami sudah siap dan bergegas ke kediaman Bapa Porfirius. Saat kami sampai ke sana, sepertinya kami langsung bisa menemuinya, yang adalah hal yang tidak biasa, sebab biasanya pasti sudah ada orang-orang yang menunggunya di luar gubuknya.

Sang geronda menyambut kami dengan segera, dan begitu kami masuk ke dalam gubuknya, Bapa Porfirius bertana kepada Rm Zakarias apakah dia bisa membuat dupa. Rm Zakarias menjawab dengan tenang bahwa dia bisa, sebab itu adalah kerja ketaatannya saat di biara selama bertahun-tahun. "Ceritakan bagaimana kamu membuat dupa, nak," tanyanya.

Saya kebingungan, begitu juga Rm Zakarias mengapa gerangan Geronda sangat tertarik untuk tahu bagaimana cara membuat dupa saat ini. Namun, Rm Zakarias dengan sabar melanjutkan penjelasannya. Jujur saja, penjelasannya di luar pengertiannya, sebab saya sendiri belum pernah membuat dupa. Sampai suatu waktu sang Geronda memotong penjelasan Rm Zakarias dan mengatakan, "Nah, betul, dengan begitu dupanya nanti lebih awet".
"Ya, Romo!" kata Romo Zakarias. "Terima kasih, Geronda; namun bukanlah maksud saya untuk datang ke sini membicarakan hal ini."
"Benar sekali", Geronda Porfirius menjawab. "Adikmu perempuah. Dia belum punya anak. Itu adalah masalah psikis. Setahun lagi, dia akan melahirkan."
Rm Zakarias dan saya saling melihat dengan takjub. Pasalnya, Rm Zakarias memang sudah menceritakan tentang adiknya saat dalam perjalanan dari Tesalonika, jadi saya paham, namun dari mana sang rahib tahu?

Selanjutnya, setelah terdiam karena takjub, Rm Zakarias bertanya sang Santo jika mungkin memang sudah berkat untuk adiknya itu untuk tanpa anak di dunia. Lalu Gerdonda menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak. 'Pergilah dan betambahlah banyak.'

Banyak lagi hal lain yang terjadi di hari itu, dan berkaitan dengan hal ini. Namun saya teramat heran bagaimana Allah mengizinkan saya untuk dapat menyaksikan penyataan yang mengherankan ini. Saya dapat melihat bagaimana dia saya amatlah lemah bahkan untuk sekadar berdiri bersama Rm Zakarias pagi itu, namun Allah masih berkenan untuk menyaksikan pemikiran, pra-tahu dan kebijaksanaan Bapa Porfirius dan terlebih lagi kerendahan hatinya yang seperti Kristus.

Kemuliaan bagi Allah, yang dahsyat di antara para kudus-Nya!
Ampunilah kesalahan saya, saudara-saudara, dan selamat merayakan perayaan St. Porfirius!

Christopher Veniamin

No comments:

Post a Comment