Tuesday, January 31, 2017

Bab Dua: Kekuatan Manusia saja Tak Cukup


Para Bapa suci berseru dengan satu suara: Jangan pernah mengandalkan kekuatan kita sendiri. Perang yang ada di hadapan kita ini sangatlah berat, dan kekuatan manusia kita semata tak akan dapat cukup untuk menghadapinya. Jika Anda mengandalkannya, secara serta merta kita akan jatuh dan jadi malas untuk melanjutkan pertempuran. Hanya Allah yang bisa memenangkan pertarungan ini untuk memenangkan kita.

Keputusan untuk tidak mengandalkan kekuatan sendiri ini berat pada awalnya. Namun penghalang ini harus ditaklukan, jika tidak, kita dipastikan tak akan dapat maju melanjutkan perjuangan rohani. Sebab amat sulit untuk membangun seorang manusia yang merasa bahwa dirinya sudah hebat, bisa semua dan tidak memerlukan bantuan!
Karena tembok berupa rasa berpuas diri, maka cahaya tidak bisa menembusnya. "Celakalah mereka yang memandang dirinya bijaksana, yang menganggap dirinya pintar, seru nabi Yesaya (5:21). Demikian juga Rasul Paulus menyampaikan peringatan: " Janganlah menganggap dirimu pandai!" (Roma 12:16). "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil".

Kita harus merendahkan diri kita, agar jangan terlalu percaya diri. Seringkali rasa ini tertanam begitu dalamnya sehingga kita tidak dapat melihat bagaimana hal itu menguasai pikiran kita. Justru rasa ego dan berpusatnya kita pada diri sendiri yang menyebabkan banyak masalah, kurangnya kerelaan kita akan penderitaan, kekecewaan kita dan kelelahan jiwa dan raga.

Mari kita tilik diri kita sendiri, dan lihatlah bagaimana terikatnya kita akan hal-hal yang menyenangkan diri sendiri. Kebebasan kita justru menjadi kekang kita karena kita termakan hasrat untuk memuaskan diri sendiri. Lalu kita berkeliaran, seperti raga yang sudah terpasung dari pagi hingga petang. "Saya mau minum," "Saya mau bangun," "Saya mau baca korang." Maka kita dipimpin oleh satu keinginan kepada keinginan yang lain. Begitu rentannya pula kita akan rasa tidak senang, tidak sabar atau kemarahan jika keinginan itu terhalangi.
Jika engkau melihat lebih dalam lagi ke dalam dirimu, kita akan melihat hal yang sama. Anda bisa menyadarinya saat merasakan kemarahan saat orang lain tidak sependapat, bahkan melawan kita. Begitulah kita hidup di dalam kekangan kehendak sendiri. Namun dimana ada Roh Allah, ada kemerdekaan (11 Korintus 3:17).

Bagaimana bisa hal yang baik bisa keluar dari ego yang sedemikian mengekang? Bukankah Tuhan mengajarkan kepada kita untuk mengasihi sesama kita seperti diri sendiri, dan mengasihi Allah di atas segalanya? Namun apakah kita sudah melaksanakannya? Bukannya kita malah jauh lebih tertarik mengisi pikiran kita untuk mengurusi hasrat sendiri?
Jadi jelaslah bagi kita bahwa tak ada satupun yang baik yang bersumber pada diri kita sendiri. Sewaktu-waktu ketika ada tidakan dan pikiran yang mulia terpintas, kita harus sadar bahwa itu bukan dari diri kita sendiri, melainkan terpancar dari mata air sumber kebaikan dan dialirkan melalui anda: itu adalah rahmat Sang Pemberi hidup. Begitu pula kekuatan untuk mengenakan pikiran yang baik menjadi perbuatan bukanlah daya sendiri, namun dianugerahkan kepadamu oleh Tritunggal Mahakudus.

Monday, January 23, 2017

Pendahuluan dan Bab Satu dari Buku Way of Ascetics [Jalan Penyangkalan Diri]

Jalan Penyangkalan Diri 
oleh Tito Colliander




Pendahuluan

Jalan Penyangkalan diri (Way of the Ascetics) merupakan perkenalan akan jalan sempit yang memimpin kepada hidup. Itu merupakan hal yang sederhana namun penjelasan yang sangat dalam mengenai kehidupan rohani yang diajarkan oleh Gereja Orthodox selama lebih dari 2000 tahun. Tulisan ini merupakan himpunan dari pengalaman-pengalaman bapa dan ibu asketis di padang gurun, dan inspirasi yang dalam kepada hidup rohani dari oranng-orang kudus. Pengingatan akan tulisan 'Tangga' oleh St. Yohanes Klimakus, "Jalan Penyangkalan diri" menggerakkan kita untuk memulai perjuangan kita naik dari keduniawian kepada Kerajaan Sorga.

Dalam zaman kita yang sangat dipengaruhi oleh new age (zaman baru) dan agama-agama buatan sendiri, gaya anjuran bapa-bapa gereja nan sederhana sangatlah menyejukkan. Dengan kondisi zaman kita yang rindu akan kesederhanaan dan mudah dipahami adalah hal yang sangat indah untuk mendapatkan inspirasi yang sederhana dan mudah dicerna dari mereka. Kami menyediakan bahan ini di internet untuk pertama kali dengan maksud agar mereka yang tergerak untuk sungguh-sungguh menghidupi kehidupan rohani dapat menerima petunjuk sederhana yang dapat menolong kita memulai berjalan di jalan yang telah teruji oleh waktu ke dalam Kerajaan Allah yang mulia.

Catatan dari Pengarang buku ini:

Karya ini dilandaskan pada tulisan-tulisan Bapa-bapa suci dari Gereja Orthodox dan berisi kutipan-kutipan langsung dan bebas, dengan tafsiran dan aplikasi praktis seperlunya.
Kutipan Alkitab diambil dari Authorized Version (dalam bahasa Inggris- penerjemah menggunakan Terjemahan Baru LAI-red), Mazmur teks asli berdasarkan Psalter Orthodox (Bahasa Indonesia menggunakan Mazmur LAI TB).


BAB Satu: Ikhtiar Yang Mantap dan Niat Teguh


Ilustrasi: Patriakh Pavle dari Serbia, penuh kenangan akan kesalehan. 


Jika anda ingin menyelamatkan jiwamu dan mendapatkan hidup yang kekal, bangkitlah dari rasa malasmu, buatlah tanda Salib dan ucapkanlah:

"Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin".

Iman datang bukan semata dari merenung-renung melainkan melalui bertindak. Bukan kata-kata atau olah pikir belaka namun pengalamanlah yang mengajarkan kita akan Allah. Seperti ini: jika kita ingin udara sejuk dari luar masuk ke ruangan kita, maka kita harus membuka jendelanya; untuk memperoleh kulit cokelat merona kita harus keluar rumah dan mendapat sinar matahari. Menerima iman tidaklah jauh berbeda dengan itu; kita tidak akan sampai ke sana kalau hanya duduk manis ongkang kaki dan menunggu, demikian kata para bapa suci. Kita perlu meneladani si Anak Bungsu yang hilang. "Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. (Lukas 15:20)

Seberat apapun dan sedalam apapun kita terjerembab dalam kubangan keduniawian, tidak ada kata terlambat. Bukan tanpa alasan bahwa dalam Alkitab, Abraham berumur 75 tahun saat menerima perintah Allah untuk pergi ke Kanaan, begitu juga dalam perumpamaan Kristus, pekerja yang datang pada jam yang kesebelas mendapatkan upah yang sama dengan dia yang datang paling pertama.

Jangan pula beranggapan ini terlalu cepat[Nanti saja lah...-red].Lihat saja penyebab kebakaran hutan. Jika terlambat sedikit saja, tamatlah riwayatnya. Jiwa kita juga demikian: tidak bisa dibiarkan berlama-lama diberangus dan habis terbakar.

Saat dibaptis, anda menerima perintah untuk maju berperang dalam peperangan rohani melawan musuh dari jiwa kita; angkatlah senjata sekarang. Sudah terlalu lama kita menunda-nunda, tenggelam dalam rasa enggan dan malas sehingga waktu berharga kita terbuang percuma. Marilah kita mulai lagi dari awal: sebab kita sudah menyandarkan mahkota kemurnian yang kita terima dalam baptisan usang dan berdebu karena diabaikan.

Bangunlah, dengan segera, tanpa menunda-nunda lagi. Jangan tunda hal itu sampai "malam ini", atau "besok", atau "nanti, kalau saya sudah selesai dengan apa yang saya kerjakan sekarang."

Jangan. Sekarang juga adalah waktunya. Saat kita membuat niat dan ikhtiar, tunjukanlah dengan tindakan sederhana bahwa anda menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia yang baru. Bangkitlah, dan tanpa gentar katakanlah: "Ya Tuhan izinkanlah hamba memulainya sekarang, tolonglah hamba." Sebab apa yang sangat kita perlukan tidak lain adalah pertolongan dari Allah... Berpeganglah pada tujuan kita ini dan jangan menoleh ke belakang. Kita diberikan peringatan yang jelas akan hal ini dalam kisah istri Lot yang berubah jadi tiang garam saat menoleh ke belakang (Kejadian 19:26). Anda sudah melepaskan manusia lama; biarlah kulit lama itu dibuang. Sebagaimana Abraham, anda telah mendengarkan suara Tuhan: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; (Kejadian 12:1). Ke arah tanah perjanjian itulah hendaknya kita mengarahkan perhatian kita.    

Saturday, January 7, 2017

Homili Tahun Baru dari St. Barsanafius

Homili Tahun Baru disampaikan tahun 1913 oleh St. Barsanafius dari Optina,


St. Barsanafius dari Optina, sumber

"Saya mengucapkan selamat tahun baru kepada umat sekalian yang berkumpul di sini. Selamat menerima sukacita yang akan dilimpahkan Tuhan pada tahun yang baru. Selamat menerima juga duka dan perjuangan yang tak terelakkan yang akan mengunjungi kita di tahun ini: mungkin hari ini, besok, atau dalam waktu dekat. Namun janganlah menjadi bimbang atau takut karena kedukaan atau sengsara itu.

Kesedihan dan sukacita terjalin ikat satu sama lain. Mungkin hal ini terlihat aneh bagimu, namun ingatlah akan kata-kata Penyelamat kita: Seorang perempuan berduka cita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia (Yohanes 16:21). Hari berganti menjadi malam, malam menjadi siang, cuaca buruk menjadi cerah; begitu juga duka cita diganti dengan suka cita, suka cita bertukar dengan duka cita.

Rasul Paulus mengatakan kata-kata yang keras kepada mereka yang tidak mau menanggung kesengsaraan apapun demi Allah: Sebab jika engkau dibiarkan tanpa penghukuman, engkau bukanlah anak yang sah. (Ibrani 12:6-8)  Janganlah menjadi depresi; biarlah yang depresi adalah mereka yang tidak percaya kepada Allah. Bagi mereka, tentu saja duka cita dan sengsara adalah hal keliru, sebab mereka hanya mengenal kesenangan dunia. Namun orang-orang yang percaya kepada Allah janganlah hilang harapan, sebab melalui dukacita dan sengsara itu mereka menerima hak sebagai anak-anak yang sah, yang tanpanya seseorang tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Sorga.

"Menginjak-injak perintah yang cemar, Tiga Pemuda Yahudi di Babilonia ditopang oleh kesalehan, tiada takut akan ancaman perapian, namun berdiri di tengah-tengah nyala api, mereka bernyanyi:' Terberkatilah Engkau ya Allah dari para bapa leluhur kami.'" (Irmos Kelahiran Kristus, Irama 1, sloka 7)

Bisa jadi dukacita adalah ancaman akan api, atau pencobaan macam-macam, namun kita tidak usah takut, justru kita sudah semestinya  berdiri tegap seperti pemuda-pemuda yang saleh itu dan bernyanyi bagi Allah dalam sengsara kita, dengan iman bahwa semuanya dikirimkan oleh Allah untuk keselamatan kita.

Kiranya Allah menyelamatkan kita sekalian, dan membimbingmu ke dalam Kerajaan Terang yang Takteredupkan! Amin."