Monday, May 22, 2017

Bab Sepuluh : Tentang Dosa Sesama dan Diri Sendiri


Setelah kita sadar akan kebobrokan kita sendiri, akan kelemahan kita, dan kekejaman kita, hendaklah kita menyebut nama Tuhan sebagaimana sang Pemungut cukai (Lukas 18:13): Ya Allah, bermurahlah kepadaku orang berdosa ini. Juga Anda menambahkan: Lihatlah, betapa saya bahkan lebih buruk daripada Pemungut cukai, sebab saya juga tidak tahan untuk membandingkan diri dengan si Farisi dan mengatakan dalam hati, "Makasih Tuhan, saya tidak seperti dia..."! Namun, menurut para orang kudus, saat kita sudah sadar akan hati kita dan kelemahan daging kita, kita jadi kehilangan 'selera' untuk menghakimi orang lain. Dari dalam kegelapanmu sendiri engkau justru akan lebih peka akan terang sorgawi yang terpantul dari semua ciptaan dengan lebih jelas. Engkau akan sangat sulit mengendus dosa orang lain sementara jadi sangat peka terhadap dosa sendiri.

Sebab semangatmu untuk bejuang bagi kesempurnaan itulah yang membawamu peka akan ketidak-sempurnaanmu. Dan hanya ketika kita menyadari betapa kita tidak sempurna, maka kita bisa disempurnakan. Proses penyempurnaan itu berasal dari kelemahan. Pada titik ini, anda dianugerahi hadiah yang St. Ishak dari Siria janjikan kepada mereka yang berusa menyangkal diri: Dan musuh-musuhmu akan lari tunggang langgang daripadamu saat engkau mendekat. Musuh macam apakah yang dibicarakan oleh bapa suci ini? Secara alami, musuh yang sama dengan dia yang mengambil rupa seekor ular dan dia pula yang sejak semula menumbuhkan rasa ketidak-puasan dalam diri kita, ketamakan, ketidak-sabaran, kecerobohan, kemarahan, kecemburuan, kekuatiran, kegelisahan, kebencian, keputus-asaan, kemalasan, kepahitan, keraguan dan khususnya semua hal yang menimbulkan akar pahit kepada keberadaan kita yang berakar pada kasih pada diri sendiri dan rasa mengasihani diri.

Sebab jika kita taat di dalam kasih, apakah ada lagi alasan untuk kita terusik, untuk menjadi tidak sabaran, menjadi ceroboh dan penuh nafsu, jika semuanya berjalan sesuai dengan keinginannya yang murni? Melalui latihan yang sungguh-sungguh, dia membiasakan diri untuk tidak menginginkan apapun bagi diri sendiri, dan bagi seseorang yang tidak mengharapakan apapun bagi kesenangan diri, maka semuanya terjadi 'seperti' yang dia harapkan, demikian penjelasan Abot Dorotheos. Kehendaknya sudah berpadu dengan kehendak Allah, dan apapun yang dia minta, dia akan menerima (Markus 11:24). Bisakah seorang yang tidak meninggikan dirinya menjadi iri? Namun siapakah yang sebaliknya, menemukan bahwa semua orang lebih baik daripadanya. Apakah ketakutan, kegelisahan dan kekuatiran itu mungkin muncul, jika seseorang yang sadar benar, bahwa dirinya seperti perampok yang di salib, wajar menerima ganjaran akan perbuatannya (Lukas 23:41)? Kemalasan meninggalkan orang seperti ini sebab dia senantiasa mengulitinya. Rasa kepahitan tidak ada di dalam dirinya, sebab apakah ada sesuatu yang sudah dibawah, jatuh? Kebenciannya itu diarahkan secara khusus melawan semua yang jahat dalam dirinya sendiri yang menyamarkan pandangannya terhadap Allah: dia menyangkal dirinya sendiri (Lukas 14:26). Namun tidak ada lagi lahan subur bagi keraguan, sebab dia sudah merasakan dan melihat betapa baiknya Tuhan itu (Mzm. 34:8): Tuhan sendirilah yang menggendongnya. Kasihnya bertumbuh menjadi lebih luas, dan dalam kasih itu, bertumbuh juga imannya. Dia berdamai dengan dirinya sendiri. Dia memanen buah dari kerendahan hati. Namun hal ini hanya terjadi di jalan yang sempit, yang sangat sedikit yang menemukannya (Mat. 7:14).

Thursday, May 18, 2017

Bab Sembilan: Mengalahkan Dunia


St. Basilius Agung berkata: Seseorang tak akan bisa mencapai pengetahuan akan kebenaran dengan hati yang gundah. Karena itu kita harus berupaya sedemikian rupa menghindari apapun yang menyandera hati kita yang menyebabkan kita lupa, memanjakan hawa nafsu, dan yang menyebabkan ketidak-damaian. Kita harus membebaskan diri kita dari sebanyak mungkin dari rasa kepo dan kesia-siaan dan gengsi.

Ya, ketika kita melayani Tuhan, kita tidak perlu dicemaskan oleh banyak perkara, namun selalu ingat bahwa satu hal saja yang perlu (bdk. Lukas 10:41). Agar bisa mandi dengan bersih, seseorang harus menanggalkan pakaiannya. Begitu juga dengan hati kita: hati harus dibebaskan dari selubung eksternal duniawi sehingga dapat dijangkau oleh sabun pembersih. Sinar mentari yang menyehatkan tidak akan bisa menembus badan kita saat kita menyelubunginya dan tidak mengeksposnya. Begitu juga dengan rahmat ROh Kudus yang mneyembuhkan dan memberi hidup. Maka: Bukalah selubung kekuatiran itu. Sangkallah dirimu, namun jangan sampai terlalu kentara. Sangkallah dengan bertahap segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan, kenyamanan dan hiburan, segala sesuatu yang membawa kesenangan dan keseruan bagi mata, teliga, nafsu makan atau indera yang lain. Dia yang tidak bersama-sama aku, melawan aku (Matius 12:30), dan apa yang tidak membangun, meruntuhkan. Perlahan-lahan putuskanlah segala pertalian yang mengikatmu kepada dunia ini secara sosial, namun lakukanlah dengan sangat perlaahat tanpa terlalu nyata. Misalnya undangan, kinser, kekayaan pribadi, dan terutama yang berhubungan dengan keduniawian, nafsu daging dan nafsu ego dan kesombongan, sebab semuanya itu bukan berasal dari Bapa, melainkan dari dunia ini, dan hal itu menggerogoti jiwamu (I Yoh 2:16).

Apakah 'dunia' itu? Janganlah membayangkan hal-hal ekstrim dan macam-macam. Dunia , sebagaimana yang dijelaskan oleh St. Makarius dari Mesir, adalah selubung api hitam yang membayangi hati kita dan menjauhkan kita dari pohon kehidupan. Dunia adalah segala sesuatu yang mencengkram kita dan memuaskan kita secara inderawi: semua yang di dalam kita yang tidak mengenal Allah (Yoh. 17:25). Dari dunialah keinginan dan desakan hasrat kita. St. Ishak dari Siria menyebutkannya: Kelemahan sehingga berhasrat untuk mengumpulkan banyak harta benda; desakan untuk menyenangkan badan dengan nafsu; mencari hormat, yang adalah akar dari rasa iri; keinginan untuk menaklukan dan menjadi orang penting, riak dan bangga karena kemuliaan diri; desakan untuk memperindah tubuh dan agar disukai; kehausan akan pujian; perawatan dan kegelisahan yang menggebu-gebu tentang kesehatan dan bentuk tubuh. Semua itu berasal dari dunia ini. Hal-hal ini mengikatkan kita pada kuk yang sangat berat. Jika engkau ingin membebaskan dirimu sendiri, ujilah dirimu sendiri dengan bantuan daftar tersebut yang begitu mudah untuk diamati, dan berusahalah dengan setia untuk melawannya dan mendekat kepada Allah. Sebab persahabatn dengan dunia ini adalah permusuhan dengan Allah (Yak. 4:4). Pemandangan yang luas hanya bisa disaksikan dari atas bukit yang tinggi, dengan meninggalkan lembah yang sempit, kegelisahan dan kesenangan adalah ciri khas dari lembah ini. Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan (Mat. 6:24); untuk mengarungi lembah dan puncak bukit yang sama pada waktu bersamaan adalah hal yang mustahil.



Agar bisa mendaki dengan mudah, kita harus melepaskan beban yang terlalu berat, sama halnya dengan hati kita. Mari kita sempatkan bertanya: "Apakah saya nonton ini demi kesenangan saya pribadi atau kesenangan orang lain? Apakah saya menyangkal diri saya sendiri dalam pesta koktail? Apakah saya 'menjual dan memberikan harta' saya saat saya jalan-jalan dan melakukan tamasya? Apakah saya mengekang tubuh saya dan mengendalikannya (I Kor. 9:27) saat leha-leha dan membaca? Pertanyaan itu bisa dibalik dan ditambahi seturut dengan kebiasaan-kebiasaan Anda dan yang ada kaitannya dengan gaya hidup yang menaati perintah Injil. Karena itu, ingatlah bahwa jikalau engkau setia dalam perkara kecil, juga setia dalam perkara yang besar (Lukas 16:10). Janganlah takut akan rasa sakit; itulah yang sangat menolongmu keluar dari lembah sempit; dimana anda tinggal dalam pelbagai hasrat kedagingan mengikuti keinginan tubuh dan pikiran ( Efesus 2:3). Tanpa tanggung, tanyakanlah pertanyaan-pertanyaan itu kepada diri sendiri terus menerus tanpa henti. Hanya kepada diri sendiri dan janganlah sesekali kepada orang lain. Seketika saat engkau memasang ukuran itu kepada orang lain, maka kita sedang menghakimi. Anda sudah merampok diri sendiri apa yang anda telah menangkan melalui penahanan diri; mungkin anda sudah maju selangkah, namun sekarang mundur sepuluh langkah: dan itu akan menjadi alasan untuk menangisi ketakmampuan kita, kegagalan kita untuk maju dan atas kesombongan kita.

Thursday, May 4, 2017

Bab Delapan: Berjaga-jaga agar si jahat yang diusir tidak Kembali Lagi

Pertama kali Anda menang menyangkal diri, mungkin itu sebuah pertanda: Sekarang saya di jalan yang benar! Namun janganlah menganggap dirimu saleh, namun bersyukurlah kepada Allah, sebab Dialah yang memberimu kekuatan; janganlah terlalu bergembira, namun teruskanlah perjuangan dengan perlahan.

Kalau tidak, iblis yang kita usir dapat kembali dan menyerang kita dari belakang. Ingatlah: Bangsa Israel menerima perintah dari Allah untuk menghabisi semua penduduk negeri yang akan mereka kuasai (Bilangan 33:52f), agar kita juga dapat belajar dari mereka. Derajat kemenangan atas diri sendiri bukanlah hal yang penting. Mungkin itu terdiri dari melewatkan rokok di pagi hari atau bahkan saat menolehkan kepala agar tidak melihat ke pencobaan.

Kejadian yang nampak secara langsung bukanlah hal yang menentukan. Hal kecil bisa menjadi besar, tapi hal yang besar bisa menjadi kecil. Namun fase pertempuran selanjutnya selalu menanti. Kita harus selalu berjaga-jaga. Tidak ada waktu untuk berleha-leha.

Justru sekali lagi, ingatlah: untuk tetap hening! Jangan biarkan siapapun tahu akan kemenangan kita. Kita mengabdi kepada Dia Yang Tak Nampak Mata; jadi biarlah perjuangan kita juga tersembunyi. Jika engkau meninggalkan remah-remah di sekitarmu, tak perlu menunggu maka burung-burung akan memugutinya, sebagaimana dikirimkan oleh iblis, demikian kata para kudus.

Hati-hatilah terhadap rasa puas diri: sepatah kata saja dapat menggugurkan banyak buah jerih lelah. Karena itu para bapa suci mengingatkan: bertindaklah dengan pengertian. Dari dua pilihan, pilihlah yang lebih kecil. Jika anda sendirian, ambillah bagian yang terkecil. Jika anda dilihat banyak orang, ambillah bagian yang sedang, suapaya tidak menarik perhatian.

Jadilah tersembunyi dan sewajar mungkin; biarlah ini menjadi pedomanmu dalam segala keadaan. Jangan membicarakan dirimu sendiri, tentang bagaimana anda tidur, apa yang anda mimpikan, apa yang sudah terjadi pada anda, janganlah terusan berceloteh tentang pandangan anda tanpa ditanya, janganlah menyinggung tentang harapan dan keinginanmu. Semua pembicaraan itu hanya akan memupuk rasa cinta diri.
Janganlah suka gonta-ganti pekerjaan, tempat tinggal dan sebagainya. Igatlah bahwa tidak ada tempat, perkumpulan ataupun keadaan luar yang tidak pas untuk perjuangan yang anda telah pilih. Pengecualiannya adalah jika itu berkaitan langsung dengan nafsumu.

Janganlah beambisi untuk mencapai posisi yang tinggi dan titel yang lebih tinggi: semakin rendah jabatanmu, semakin bebaslah sejatinya anda. Berpuaslah dengan keadaanmu sekarang ini. Janganlah juga tergoda untuk pamer keahlian atau kepintaran. Tahanlah komentar kita. Misalnya, 'Oh bukan begitu harusnya, tapi seperti ini'. Jangan membantah siapapun dan jangan debat kusir; biarkanlah orang lain menjadi selalu benar. Jangan suka bersengketa dengan saudaramu. Inilah yang akan mengajari kita kerendahan hati. Kerendahan hati adalah kebajikan yang tidak bisa tergantikan.

Terimalah komentar apapun terhadapmu tanpa membatin apapun: bersyukurlah saat kamu dicemooh, disepelekan dan tidak digubris. Namun jangan secara sengaja mencari masalah; momen itu akan disediakan dan diberikan oleh Allah secukupnya. Kita mungkin dengan mudahnya keliru menilai jika orang itu, selalu menunduk-nunduk dan kelemak-kelemek dan berkomentar "alangkah rendah hatinya! Namun justru orang yang rendah hati tidak menyita perhatian, dunia tidak mengenalnya (1 Yoh. 3:1); bagi dunia dia itu hampir 'nol'. "Seketika itu juga Petrus dan Andreas, Yohanes dan Yakobus meninggalkan jala mereka dan mengikut dia (Matius 4:20) apa kira-kira yang di katakan oleh rekannya saat mereka meinggalkan pantai itu? Bagi mereka ini, murid-murid ini telah sirna, pergi. Jangan ragu-ragu; janganlah takut jadi tidak 'muncul' dan mentereng sebagaimana mereka, dari angkatan yang cemar dan berdosa ini, manakah yang ingin kita pilih: jiwa kita atau dunia ini(bdk Markus 8:34-38)? Celakalah kamu jika semua orang mengatakan apa yang baik tentang kamu(Luke 6:26).