Wednesday, June 7, 2017

Bab Sebelas: Perang Rohani sebagai Alat menuju Tujuan



Dengan melepaskan ikatan dengan dunia luar ini, kita juga membebaskan diri dari ikatan batiniah. Ketika kita melepaskan diri dari kegelisahan eksternal, hati kita dimerdekakan dari kesakitan di dalam. Karena itulah kita harus mengerti bahwa segala peperangan ini hanyalah suatu alat mencapai tujuan yang lebih besar. Kita harus ingat bahwa hal itu bukanlah baik atau buruk pada dirinya sendiri; para kudus sering mengumpamakan hal ini seperti resep obat. Seberapapun berat dan sakit hal ini, kita mesti harus menjalaninya. Selalu mestilah kita ingat bahwa kita tidak bisa menghasilkan kebajikan dari usaha kita sendiri. Sebab bagaimana mungkin orang yang karena kecerobohannya terjatuh dalam jurang pertambangan serta mencoba mendapatkan jalan keluar dengan cangkul dan cikrak disebut sebagai hasil usahanya? Bukankah biasanya orang-orang seperti ini bisa mungkin ditolong jika ada pertolongan dari luar? Kalau tidak demikian, bukankah hal itu konyol? Dari gambaran ini kita bisa memperoleh kebijaksanaan. Peralatan itu ibarat sarana keselamatan, perintah-perintah Injil dan Misteri(sakaramen) dalam gereja, yang dianugerahkan kepada umat percaya selepas dia dibaptis.


Jika itu tidak digunakan, maka tidak akan berguna. Sebaliknya saat itu digunakan pada saat yang tepat, maka itu akan membimbing kita kepada kebebasan dan terang sejati. Kita harus menghadapi berbagai pergumulan agar dapat masuk ke dalam kerajaan Allah (Kisah 14:22): Kita mesti berlaku sebagaimana narapidana, menyerahkan hak-hak akan istirahat dan tidur serta kesenangan; kita mesti seperti ia yang terus terjaga dan berjaga-jaga di setiap saat. Kita tidak boleh melepaskan cangkul dan peralatan di tangan kita: ada doa-doa, puasa, berjaga-jaga dan berusaha untuk memelihara dan melaksanakan segala yang telah Dia perintahkan (Mat 28:20). Lebih lagi jika hati ini kesulitan dalam menjalankan disiplin, kita harus menggunakan segenap kehendak kita untuk menundukan diri kita jika kita sudah berada di luar kewajaran. Masakkah seorang narapidana mendapatkan hadiah dari kerja kerasnya? Pantaskah ia mendapatkannya> Jerih lelahnya itu sendirilah hadiahnya. Dalam kasih akan kebebasan yang dia rasakan itu, dalam harapan dan iman yang membuat peralatannya tetap digenggam di tangan. Dengan jerih lelah itu, iman, pengharapan dan kasih bertumbuh: semakin tekun dia ini, semakin dikit celah yang dia gunakan bagi diri sendiri, semakin besarlah hadiahnya. Dia semakin sadar bahwa dirinya hanyalah narapidana diantara para napi yang lainnya; dia tidak membedakan dirinya dari napi yang lain: dia adalah seorang pendosa diantara para pendosa dalam cawan bumi. Namun bedanya, alih-alih 'pasrah' dan menghambur-hamburkan waktu dengan tidur atau bermain kartu, dia terus tekun bekerja.


Dia menemukan harta yang sangat berharga dan terus berusaha menggalinya (Mat 13:44); dia membawa kerajaan Allah ini di dalam dirinya: kasih, pengharapan dan iman yang akan membawanya kepada angin kebebasan. Kendati dia hanya melihat kebebasan itu dari cermin (1 Kor 13:12), namun sejatinya dia telah merdeka: Kita diselamatkan melalui iman (Roma 8:24). Namun pengharapan yang sudah dapat dilihat bukanlah pengharapan lagi namanya, demikian kata para rasul, agar kita dapat mengerti apa-apa saja yang tercakup di dalamnya. Ketika seorang narapidana bebas dari kurungan, dia sudah bukan lagi napi diantara para napi di atas bumi ini. Dia akan mendapati dirinya dalam dunia yang merdeka: Kemerdekaan yang di dalamnya Adam diciptakan dan yang dipulihkan dalam kita dalam Kristus. Seperti napi yang demikian, kita telah merdeka dalam pengharapan kita, namun pemenuhan dari keselamatan kita hanya terletak setelah kita mengakhiri kehidupan kita di bumi. Hanya di sanalah kita bisa mengatakan dengan yakin dan pasti: Saya selamat! Sebab ada tertulis, "Jadilah sempurna sebagaimana Bapa-Mu yang di sorga adalah sempurna (Mat 5:48) sebuah pemenuhan yang tidak dapat dipenuhi di atas bumi ini. Lantas mengapa perintah itu diberikan kepada kita? Para kudus menjawab: agar kita tergerak untuk berjerih lelah mengerjakannya mulai dari sekarang, namun dengan membawa kekekalan itu di dalam benak kita. Tujuan dari kemerdekaan manusia bukanlah di dalam dirinya sendiri atau di dalam sesamanya manusia, namun di dalam Allah, kata St. Theofan. Sebab seruan kepada kebebasan itu berbunyi: Bertobatlah! Dan sebuah panggilan juga diberikan; "Datanglah kepadaku semua kalian yang letih dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu (Mat 11:28). Letih karena apa? Apakah karena perjuangan sementara kita? Berbeban berat karena apa? Dengan kekuatiran dunia? Tidak demikian! Jawab para kudus. Sebab lantas tidak nyambung dengan apa yang selanjutnya dikatakan oleh Tuhan, "Pasanglah kuk yang daripada-Ku dan belajarlah daripadaku, yang tidak pernah dililit oleh kekuatiran duniawi saat aku menapakkan kaki-Ku di bumi. Apakah sekiranya yang diterima oleh mereka yang berjerih lelah mengerjakan keselamatan mereka dan berbeban berat karena perlawanan dunia, baik dalam maupun dari luar dirinya. Mereka yang memasang kuk dari Kristus dan menghidupi kehidupan yang Dia hidupi, dengan demikian bukan dari para malaikat atau dari manusia ataupun kitab-kitab, melainkan dari Tuhan sendiri, dari Hidup-Nya dan terang-Nya dan perbuatan-Nya; siapa lagi yang bisa mengatakan bahwa Aku lemah lembut dan rendah hati dan tidak meninggikan diri akan apa yang bisa kita lakukan dan katakan- Apakah yang semua orang ini dapatkan? Mereka akan menemukan kelegaan dalam jiwa mereka. Tuhan sendirilah yang memberikan kelegaan itu. Mereka akan menemukan kebebasan dari pencobaan, kekuatiran, perendahan, ketakutan, kecemasan, dan apapun yang mengganggu jiwa manusia. Inilah penjelasan St. Yohanes Klimakus. Dan telah dibagikan oleh umat Kristen kepada satu sama lain. Sebab pengalaman sudah membuktikan kepada kebenaran yang mendasar bahwa kuk dari Kristus itu ringan bagi mereka yang mengasihi-Nya. Namun hanya bagi mereka yang bertahan sampai akhirlah yang akan diselamatkan (Mat 10:22), bukan bagi mereka yang acuh dan malas. Janji itu bukan untuk mereka. Karena itulah janganlah kita menjadi kendor. Kita harus bertekun, ulet, selalu bergegas untuk melakukan jerih lelah dalam Tuhan, dengan mengingat bahwa jerih lelah kita tak akan sia-sia (1 Kor. 15:58).

Setelah kita memulai, janganlah berhenti untuk mengerjakan pekerjaan yang layak bagi pertobatan. Sehingga kita tidak lengah dan terpukul mundur.

Monday, May 22, 2017

Bab Sepuluh : Tentang Dosa Sesama dan Diri Sendiri


Setelah kita sadar akan kebobrokan kita sendiri, akan kelemahan kita, dan kekejaman kita, hendaklah kita menyebut nama Tuhan sebagaimana sang Pemungut cukai (Lukas 18:13): Ya Allah, bermurahlah kepadaku orang berdosa ini. Juga Anda menambahkan: Lihatlah, betapa saya bahkan lebih buruk daripada Pemungut cukai, sebab saya juga tidak tahan untuk membandingkan diri dengan si Farisi dan mengatakan dalam hati, "Makasih Tuhan, saya tidak seperti dia..."! Namun, menurut para orang kudus, saat kita sudah sadar akan hati kita dan kelemahan daging kita, kita jadi kehilangan 'selera' untuk menghakimi orang lain. Dari dalam kegelapanmu sendiri engkau justru akan lebih peka akan terang sorgawi yang terpantul dari semua ciptaan dengan lebih jelas. Engkau akan sangat sulit mengendus dosa orang lain sementara jadi sangat peka terhadap dosa sendiri.

Sebab semangatmu untuk bejuang bagi kesempurnaan itulah yang membawamu peka akan ketidak-sempurnaanmu. Dan hanya ketika kita menyadari betapa kita tidak sempurna, maka kita bisa disempurnakan. Proses penyempurnaan itu berasal dari kelemahan. Pada titik ini, anda dianugerahi hadiah yang St. Ishak dari Siria janjikan kepada mereka yang berusa menyangkal diri: Dan musuh-musuhmu akan lari tunggang langgang daripadamu saat engkau mendekat. Musuh macam apakah yang dibicarakan oleh bapa suci ini? Secara alami, musuh yang sama dengan dia yang mengambil rupa seekor ular dan dia pula yang sejak semula menumbuhkan rasa ketidak-puasan dalam diri kita, ketamakan, ketidak-sabaran, kecerobohan, kemarahan, kecemburuan, kekuatiran, kegelisahan, kebencian, keputus-asaan, kemalasan, kepahitan, keraguan dan khususnya semua hal yang menimbulkan akar pahit kepada keberadaan kita yang berakar pada kasih pada diri sendiri dan rasa mengasihani diri.

Sebab jika kita taat di dalam kasih, apakah ada lagi alasan untuk kita terusik, untuk menjadi tidak sabaran, menjadi ceroboh dan penuh nafsu, jika semuanya berjalan sesuai dengan keinginannya yang murni? Melalui latihan yang sungguh-sungguh, dia membiasakan diri untuk tidak menginginkan apapun bagi diri sendiri, dan bagi seseorang yang tidak mengharapakan apapun bagi kesenangan diri, maka semuanya terjadi 'seperti' yang dia harapkan, demikian penjelasan Abot Dorotheos. Kehendaknya sudah berpadu dengan kehendak Allah, dan apapun yang dia minta, dia akan menerima (Markus 11:24). Bisakah seorang yang tidak meninggikan dirinya menjadi iri? Namun siapakah yang sebaliknya, menemukan bahwa semua orang lebih baik daripadanya. Apakah ketakutan, kegelisahan dan kekuatiran itu mungkin muncul, jika seseorang yang sadar benar, bahwa dirinya seperti perampok yang di salib, wajar menerima ganjaran akan perbuatannya (Lukas 23:41)? Kemalasan meninggalkan orang seperti ini sebab dia senantiasa mengulitinya. Rasa kepahitan tidak ada di dalam dirinya, sebab apakah ada sesuatu yang sudah dibawah, jatuh? Kebenciannya itu diarahkan secara khusus melawan semua yang jahat dalam dirinya sendiri yang menyamarkan pandangannya terhadap Allah: dia menyangkal dirinya sendiri (Lukas 14:26). Namun tidak ada lagi lahan subur bagi keraguan, sebab dia sudah merasakan dan melihat betapa baiknya Tuhan itu (Mzm. 34:8): Tuhan sendirilah yang menggendongnya. Kasihnya bertumbuh menjadi lebih luas, dan dalam kasih itu, bertumbuh juga imannya. Dia berdamai dengan dirinya sendiri. Dia memanen buah dari kerendahan hati. Namun hal ini hanya terjadi di jalan yang sempit, yang sangat sedikit yang menemukannya (Mat. 7:14).

Thursday, May 18, 2017

Bab Sembilan: Mengalahkan Dunia


St. Basilius Agung berkata: Seseorang tak akan bisa mencapai pengetahuan akan kebenaran dengan hati yang gundah. Karena itu kita harus berupaya sedemikian rupa menghindari apapun yang menyandera hati kita yang menyebabkan kita lupa, memanjakan hawa nafsu, dan yang menyebabkan ketidak-damaian. Kita harus membebaskan diri kita dari sebanyak mungkin dari rasa kepo dan kesia-siaan dan gengsi.

Ya, ketika kita melayani Tuhan, kita tidak perlu dicemaskan oleh banyak perkara, namun selalu ingat bahwa satu hal saja yang perlu (bdk. Lukas 10:41). Agar bisa mandi dengan bersih, seseorang harus menanggalkan pakaiannya. Begitu juga dengan hati kita: hati harus dibebaskan dari selubung eksternal duniawi sehingga dapat dijangkau oleh sabun pembersih. Sinar mentari yang menyehatkan tidak akan bisa menembus badan kita saat kita menyelubunginya dan tidak mengeksposnya. Begitu juga dengan rahmat ROh Kudus yang mneyembuhkan dan memberi hidup. Maka: Bukalah selubung kekuatiran itu. Sangkallah dirimu, namun jangan sampai terlalu kentara. Sangkallah dengan bertahap segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan, kenyamanan dan hiburan, segala sesuatu yang membawa kesenangan dan keseruan bagi mata, teliga, nafsu makan atau indera yang lain. Dia yang tidak bersama-sama aku, melawan aku (Matius 12:30), dan apa yang tidak membangun, meruntuhkan. Perlahan-lahan putuskanlah segala pertalian yang mengikatmu kepada dunia ini secara sosial, namun lakukanlah dengan sangat perlaahat tanpa terlalu nyata. Misalnya undangan, kinser, kekayaan pribadi, dan terutama yang berhubungan dengan keduniawian, nafsu daging dan nafsu ego dan kesombongan, sebab semuanya itu bukan berasal dari Bapa, melainkan dari dunia ini, dan hal itu menggerogoti jiwamu (I Yoh 2:16).

Apakah 'dunia' itu? Janganlah membayangkan hal-hal ekstrim dan macam-macam. Dunia , sebagaimana yang dijelaskan oleh St. Makarius dari Mesir, adalah selubung api hitam yang membayangi hati kita dan menjauhkan kita dari pohon kehidupan. Dunia adalah segala sesuatu yang mencengkram kita dan memuaskan kita secara inderawi: semua yang di dalam kita yang tidak mengenal Allah (Yoh. 17:25). Dari dunialah keinginan dan desakan hasrat kita. St. Ishak dari Siria menyebutkannya: Kelemahan sehingga berhasrat untuk mengumpulkan banyak harta benda; desakan untuk menyenangkan badan dengan nafsu; mencari hormat, yang adalah akar dari rasa iri; keinginan untuk menaklukan dan menjadi orang penting, riak dan bangga karena kemuliaan diri; desakan untuk memperindah tubuh dan agar disukai; kehausan akan pujian; perawatan dan kegelisahan yang menggebu-gebu tentang kesehatan dan bentuk tubuh. Semua itu berasal dari dunia ini. Hal-hal ini mengikatkan kita pada kuk yang sangat berat. Jika engkau ingin membebaskan dirimu sendiri, ujilah dirimu sendiri dengan bantuan daftar tersebut yang begitu mudah untuk diamati, dan berusahalah dengan setia untuk melawannya dan mendekat kepada Allah. Sebab persahabatn dengan dunia ini adalah permusuhan dengan Allah (Yak. 4:4). Pemandangan yang luas hanya bisa disaksikan dari atas bukit yang tinggi, dengan meninggalkan lembah yang sempit, kegelisahan dan kesenangan adalah ciri khas dari lembah ini. Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan (Mat. 6:24); untuk mengarungi lembah dan puncak bukit yang sama pada waktu bersamaan adalah hal yang mustahil.



Agar bisa mendaki dengan mudah, kita harus melepaskan beban yang terlalu berat, sama halnya dengan hati kita. Mari kita sempatkan bertanya: "Apakah saya nonton ini demi kesenangan saya pribadi atau kesenangan orang lain? Apakah saya menyangkal diri saya sendiri dalam pesta koktail? Apakah saya 'menjual dan memberikan harta' saya saat saya jalan-jalan dan melakukan tamasya? Apakah saya mengekang tubuh saya dan mengendalikannya (I Kor. 9:27) saat leha-leha dan membaca? Pertanyaan itu bisa dibalik dan ditambahi seturut dengan kebiasaan-kebiasaan Anda dan yang ada kaitannya dengan gaya hidup yang menaati perintah Injil. Karena itu, ingatlah bahwa jikalau engkau setia dalam perkara kecil, juga setia dalam perkara yang besar (Lukas 16:10). Janganlah takut akan rasa sakit; itulah yang sangat menolongmu keluar dari lembah sempit; dimana anda tinggal dalam pelbagai hasrat kedagingan mengikuti keinginan tubuh dan pikiran ( Efesus 2:3). Tanpa tanggung, tanyakanlah pertanyaan-pertanyaan itu kepada diri sendiri terus menerus tanpa henti. Hanya kepada diri sendiri dan janganlah sesekali kepada orang lain. Seketika saat engkau memasang ukuran itu kepada orang lain, maka kita sedang menghakimi. Anda sudah merampok diri sendiri apa yang anda telah menangkan melalui penahanan diri; mungkin anda sudah maju selangkah, namun sekarang mundur sepuluh langkah: dan itu akan menjadi alasan untuk menangisi ketakmampuan kita, kegagalan kita untuk maju dan atas kesombongan kita.

Thursday, May 4, 2017

Bab Delapan: Berjaga-jaga agar si jahat yang diusir tidak Kembali Lagi

Pertama kali Anda menang menyangkal diri, mungkin itu sebuah pertanda: Sekarang saya di jalan yang benar! Namun janganlah menganggap dirimu saleh, namun bersyukurlah kepada Allah, sebab Dialah yang memberimu kekuatan; janganlah terlalu bergembira, namun teruskanlah perjuangan dengan perlahan.

Kalau tidak, iblis yang kita usir dapat kembali dan menyerang kita dari belakang. Ingatlah: Bangsa Israel menerima perintah dari Allah untuk menghabisi semua penduduk negeri yang akan mereka kuasai (Bilangan 33:52f), agar kita juga dapat belajar dari mereka. Derajat kemenangan atas diri sendiri bukanlah hal yang penting. Mungkin itu terdiri dari melewatkan rokok di pagi hari atau bahkan saat menolehkan kepala agar tidak melihat ke pencobaan.

Kejadian yang nampak secara langsung bukanlah hal yang menentukan. Hal kecil bisa menjadi besar, tapi hal yang besar bisa menjadi kecil. Namun fase pertempuran selanjutnya selalu menanti. Kita harus selalu berjaga-jaga. Tidak ada waktu untuk berleha-leha.

Justru sekali lagi, ingatlah: untuk tetap hening! Jangan biarkan siapapun tahu akan kemenangan kita. Kita mengabdi kepada Dia Yang Tak Nampak Mata; jadi biarlah perjuangan kita juga tersembunyi. Jika engkau meninggalkan remah-remah di sekitarmu, tak perlu menunggu maka burung-burung akan memugutinya, sebagaimana dikirimkan oleh iblis, demikian kata para kudus.

Hati-hatilah terhadap rasa puas diri: sepatah kata saja dapat menggugurkan banyak buah jerih lelah. Karena itu para bapa suci mengingatkan: bertindaklah dengan pengertian. Dari dua pilihan, pilihlah yang lebih kecil. Jika anda sendirian, ambillah bagian yang terkecil. Jika anda dilihat banyak orang, ambillah bagian yang sedang, suapaya tidak menarik perhatian.

Jadilah tersembunyi dan sewajar mungkin; biarlah ini menjadi pedomanmu dalam segala keadaan. Jangan membicarakan dirimu sendiri, tentang bagaimana anda tidur, apa yang anda mimpikan, apa yang sudah terjadi pada anda, janganlah terusan berceloteh tentang pandangan anda tanpa ditanya, janganlah menyinggung tentang harapan dan keinginanmu. Semua pembicaraan itu hanya akan memupuk rasa cinta diri.
Janganlah suka gonta-ganti pekerjaan, tempat tinggal dan sebagainya. Igatlah bahwa tidak ada tempat, perkumpulan ataupun keadaan luar yang tidak pas untuk perjuangan yang anda telah pilih. Pengecualiannya adalah jika itu berkaitan langsung dengan nafsumu.

Janganlah beambisi untuk mencapai posisi yang tinggi dan titel yang lebih tinggi: semakin rendah jabatanmu, semakin bebaslah sejatinya anda. Berpuaslah dengan keadaanmu sekarang ini. Janganlah juga tergoda untuk pamer keahlian atau kepintaran. Tahanlah komentar kita. Misalnya, 'Oh bukan begitu harusnya, tapi seperti ini'. Jangan membantah siapapun dan jangan debat kusir; biarkanlah orang lain menjadi selalu benar. Jangan suka bersengketa dengan saudaramu. Inilah yang akan mengajari kita kerendahan hati. Kerendahan hati adalah kebajikan yang tidak bisa tergantikan.

Terimalah komentar apapun terhadapmu tanpa membatin apapun: bersyukurlah saat kamu dicemooh, disepelekan dan tidak digubris. Namun jangan secara sengaja mencari masalah; momen itu akan disediakan dan diberikan oleh Allah secukupnya. Kita mungkin dengan mudahnya keliru menilai jika orang itu, selalu menunduk-nunduk dan kelemak-kelemek dan berkomentar "alangkah rendah hatinya! Namun justru orang yang rendah hati tidak menyita perhatian, dunia tidak mengenalnya (1 Yoh. 3:1); bagi dunia dia itu hampir 'nol'. "Seketika itu juga Petrus dan Andreas, Yohanes dan Yakobus meninggalkan jala mereka dan mengikut dia (Matius 4:20) apa kira-kira yang di katakan oleh rekannya saat mereka meinggalkan pantai itu? Bagi mereka ini, murid-murid ini telah sirna, pergi. Jangan ragu-ragu; janganlah takut jadi tidak 'muncul' dan mentereng sebagaimana mereka, dari angkatan yang cemar dan berdosa ini, manakah yang ingin kita pilih: jiwa kita atau dunia ini(bdk Markus 8:34-38)? Celakalah kamu jika semua orang mengatakan apa yang baik tentang kamu(Luke 6:26).

Tuesday, April 25, 2017

Bab Tujuh: Perubahan dari cinta diri menjadi kasih akan Kristus

Jika kita berhenti memikirkan diri sendiri, siapa yang akan kita pikirkan? tanya Uskup Teofan. Dia memberikan jawabannya bagi kita: Kita akan menjumpai Allah dan sesama kita. Karena alasan inilah, menyangkal diri merupakan prasyarat dan syarat utama, sebab agar fokus kita beralih dari diri sendiri kepada Kritus yang adalah Tuhan dan sesama kita.

Itu artinya, semua perhatian kita, kepedulian dan kasih yang saat ini kita limpahkan semata untuk diri sendiri dapat secara alami dan tanpa kita sadari kita alihkan kepada Allah dan dengan demikian kepada sesama kita. Hanya dengan cara inilah "tangan kiri kita tidak tahu apa yang tangan kanan kita lakukan, dan pemberian kita itu tetap tersembunyi (bdk. Mat 6:3-4).

Sampai syarat ini terpenuhi, kita tidak akan bisa dilimpahi dengan segala pengetahuan, dapat saling menasihati (bdk. Roma 15:14) dengan cara yang nyata dan non-material. Upaya kita untuk menasihati orang bisa saja dengan intensi yang salah, sebab itu sebenarnya bias kita sendiri serta dengan tujuan memuaskan diri sendiri. Sangat perlu mengerti hal ini, sebab kita bisa dengan mudahnya keliru antara 'merasa' menolong orang lain dan berujung kepada rasa puas bisa menolong orang itu.

Hindarilah menyibukkan diri kita, dengan bazaar chariti, pertemuan bantuan di hadapan khalayak ramai supaya dilihat orang. Kesibukan akan banyak hal, dengan segala wujudnya serupa racun. Lihatlah ke dalam hati, dan tiliklah dengan saksama, periksalah bahwa kegiatan sedekah seperti ini sejujurnya dari niat yang mana: apakah dari keinginan yang membutakan nurani: yaitu dari kebiasaan tak terkendali untuk memuaskan diri. (Roma 5:1)

Tidak demikian Allah akan kasih dan kedamaian serta pengorbanan yang sepenuhnya tidak terbesit oleh keinginan untuk pamor dan kepuasan diri, tidak juga memandang seusatu yang dilakukan hanya demi pencitraan. Ada satu cara mengujinya: jika pikiranmu gelisah, jika kita menjadi putus asa atau sedikit jengkel karena sesuatu atau ada penghalang akan tindakan baikmu itu, maka niat itu bukanlah niat yang murni.

Mungkin anda bertanya, Mengapa? Mereka yang berpengalaman menjawab, bahwa halangan secra eksternal dan hambatan itu hanya menguji mereka yang tidak menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak Allah: dan bagi Allah tidak ada yang bisa menghalangi. Perbuatan kebajikan tanpa pamrih berasal dari Allah, bukan dari saya sendiri. Itu tidak bisa dibuat-buat. Sebab jika itu demi rencana saya, demi keinginan saya untuk belajar, kerja, beristirahat, makan atau melayani sesama saya -- tahu-tahu ada aral melintang, maka saya akan marah. Sebab bagi orang yang sudah menemukan jalan sempit yang memimpin kepada Hidup, yaitu Allah, hanya ada satu macam penghalang saja, dan itu adalah: kehendaknya sendiri yang cenderung berdosa. Jadi bagaimana mungkin dia marah jika memang hal itu memang tidak dikehendaki Allah? Untuk hasil, ia tidak merencanakannya (Yak. 4:13-16).

Namun ini juga rahasia dari para kudus.
Jangan tertipu. Seorang Kristen harus belajar berjalan sebagaimana Dia berjalan (1 Yoh 2:6) yang tidak menuruti kehendaknya sendiri (Yoh 5:30), namun rela dilahirkan di atas palungan, berpuasa 40 hari, berdoa semalam suntuk, menyembuhkan yang sakit, mengusir setan, tidak memiliki tempat untuk membaringkan kepalanya, dan merelakan dirinya diludahi, disesah dan disalib.

Sekarang renungkan betapa jauhnya kita dari itu. Terus tanyakan diri sendiri: Sudah saya sesekali berdoa semalaman? Sudahkah saya berpuasa barang sehari? Sudahkah saya mengusir setan? Sudahkah saya merelakan diri untuk dicela dan dipukuli? Sudahkah saya menyalibkan daging (Galatia 5:24), dan tidak memuaskan kehendak pribadi? Terus tanyakan kepada diri kita sendiri.

Untuk apa sih menyangkal diri? Dia yang benar-benar menyangkal dirinya sendiri tidak menanyakan, Apakah saya bahagia? atau, Akankah aku puas? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan berguguran jika anda benar-benar menyangkal diri, sebab dengan melakukannya kita akan terbiasa membersihkan diri dari kerakusan pribadi akan kesenangan duniawi atau bahkan 'sorgawi'.
Keinginan yang bandel akan kesenangan pribadi inilah penyebab kegelisahan dan carut marutnya jiwamu. Lepaskanlah itu dan lawanlah: damai dan ketenangan akan diberikan kepadamu secara cuma-cuma.

Sunday, April 9, 2017

Bab Enam: Menumpas Nafsu akan Kesenangan



Ada tertulis bahwa hanya sedikit yang mau menempuh jalan yang sempit yang membawa kepada hidup dan kita semestinya sudi masuk melalui pintu yang sempit itu. Sebab banyak yang akan mencoba masuk melaluinya, namaun tidak akan mampu (bdk. Lukas 13:24).

Penjelasannya dapat ditemukan persis karena ketidakmauan kita menyangkal diri kita. Kita mencoba mengatasi tabiat buruk, mungkin juga laksana kita yang parah dan berbahaya, namun demikian itu terhenti begitu saja. Nafsu kecil yang kita biarkan bebas. Kita mungkin memang tidak menilap atau mencuri, namun kita suka bergunjing; kita tidak minum-minum, namun ngeteh dan ngopi secara berlebihan. Hati kita masih penuh dengan keinginan-keinginan: akar-akar yang tidak dicabut dan kita mengembara ria di hutan rimba yang kita biarkan bertumbuhan di lahan rasa mengasihani diri sendiri.

Kita harus menumpas rasa kasihan diri sendiri, sebab itulah akar dari segala nestapa yang menimpamu. Jika kita tidak tunduk kepada rasa mengasihani diri, maka pasti kita sadar bahwa kita sendirilah penyebab kejatuhan kita, sebab kita menolak untuk paham bahwa semua demi kebaikan kita. Merasa diri menderita mengaburkan pandangan kita. Kita mengasihani hanya diri sendiri dan akhirnya kurang mempertimbangkan perasaan orang lain. Kasih kita hanya sekedar pemenuhan kepuasan pribadi. Bebaskanlah diri kita dari semua ini maka kejahatan akan lari menjauh.

Tekanlah kelemahan-kelemahan kita yang mengacaukan dan kehausan kita akan kenyamanan; seranglah rasa itu dari segala penjuru! Remukkan hasrat kita akan kesenangan; jangan berikan celah sedikitpun. Jadilah tegas kepada diri sendiri; jangan beri makan kepada ego kedagingan kita sekalipun dengan rayuan menggoda. Sebab semua hal bertambah kuat saat diulang-ulang, namun akan mati layu saat ditelantarkan.

Namun hati-hati jangan sampai memagari jalan masuk kepada kejahatan namun membuka lebar pintu belakang kita yang membuat sama saja kejahatan itu masih bisa masuk.

Apagunanya, misal kita sudah berusaha tidur di kasur yang keras namun bersantai di bak mandi air hangat? Atau mencoba berhenti merokok namun membebaskan niat untuk berceloteh? Lantas saat anda mencegah niat untuk mengoceh, namun membaca novel seru? Atau jika anda berhenti membaca novel tak pantas namun mulai melamun dan menikmati balada melankolis?

Semua itu hanyalah manifestasi yang berbeda dari satu hal yang sama: keinginan untuk memuaskan desakan untuk mencari kesenangan.

Kita harus sigap mencabut semua hasrat untuk menikmati kesenangan, untuk mendapat kelancaran dan untuk dipuaskan. Anda harus belajar mencintai kesedihan, kemiskinan, rasa sakit dan kesulitan. Kita harus secara diam-diam menuruti perintah Tuhan: untuk tidak berbicara sia-sia, dan tidak mendandani diri secara berlebihan, selalu taat kepada penguasa, tidak memandang wanita dengan nafsu, tidak menjadi marah dan sebagainya. Untuk segala perintah itu diberikan kepada kita bukan hanya untuk diabaikan, namun untuk dilakukan: jika tidak demikian, Tuhan yang penuh belas kasihan itu tidak mungkin membebani kita dengan semua itu. Jika seseorang ingin mengikuti aku, hendaklah dia menyangkal dirinya (matius 16:24), sehingga memberikan ruang kepada kehendak manusia tersebut dan juga mengahargai niatnya: untuk menyangkal dirinya.

Thursday, April 6, 2017

Bab Lima: Penyangkalan Diri dan Pembersihan Hati



Lemah dan tak berdaya dengan kekuatan sendiri, kini kita harus maju untuk menunaikan tugas yang sangat berat bagi seorang manusia: yakni untuk menaklukan keinginan daging kita. Karena sungguhlah segala perjuangan rohani kita sangat terkait dengan penyangkalan diri ini. Sebab sejauh mana kita masih bergantung kepada kemampuan dan aturan kita sendiri, kita tidak bisa dengan setulusnya berdoa, "Terjadilah kehendak-Mu". Jika kita tidak bisa menyingkirkan 'kebesaran' kita sendiri, maka kita tidak akan bisa mampu membuka diri kepada keagungan yang sesungguhnya. Jika kita hanya mengandalkan kebebasan pribadi kita, maka kita tidak dapat ambil bagian dalam kebebasan sejati. Rahasia terdalam dari para orang kudus ialah: janganlah mencari kebebasan, maka kebebasan itu akan mencarimu."

Ada tertulis, "Bumi akan mengeluarkan duri dan semak belukar. Dengan berpeluh, dan jerih lelah engkau akan mengupayakannya. Para Bapa suci berpesan untuk memulai dengan hal-hal yang kecil, sebab menurut St. Efraim dari Siria, bagaimana mungkin kita memadamkan api yang besar sebelum kita berusaha memadamkan api yang kecil. Jika Anda ingin dibebaskan dari penderitaan yang besar, maka belajarlah untuk menggilas nafsu-nafsu kecil, kata para Bapa suci. Jangan kira bahwa nafsu satu terpisah dengan yang lainnya: nafsu-nafu itu saling bertautan sebagaimana rantai yang panjang atau jaring-jaring.

Maka akan menjadi hal yang sangat berat untuk menangkal hal-hal yang besar serta kebiasaan yang buruk tanpa pada saat yang bersamaan menghalau kelemahan-kelemahan kecil yang 'inosen' : keinginan untuk yang manis-manis, rasa ingin terus berbicara, rasa penasaran, rasa ingin ikut campur. Toh pada akhirnya, semua nafsu kita baik itu besar maupun kecil ditumbuhkan dari satu benih yang sama, kebiasaan kecil kita untuk memuaskan keinginan kita yang tidak kita kendalikan.

Sesungguhnya kehendak pribadi kitalah yang dihancurkan. Sejak kejatuhan dalam dosa, kehendak kita senantiasa digunakan untuk pemuasan diri. Karena alasan inilah, peperangan kita diarahkan melawan kehidupan pemuasan yang semacam itu. Kehidupan tobat ini mesti dihidupi segera dan tanpa menunda! Jika Anda kebelet ingin bertanya sesuatu, tahanlah diri! Jika anda kebelet ingin minum dua cangkir kopi, minumlah hanya satu saja! Jika and ingin menegok jam, janganlah menengok! Jika anda ingin menyulut rokok, hindarilah! Jika kamu ingin berkeliling-keliling, tinggalah di rumah!

Ini adalah penyangkalan diri; dengan cara ini seseorang menghempaskan suara keras kehendak pribadi.
Mungkin anda heran, memang perlu sampai segitunya ya? Para bapa suci membalasnya dengan sebuah pertanyaan: Apakah bisa menaruh air bersih ke dalam teko yang berlumuran kotoran? Atau anda ingin menerima tamu ke rumah anda jika saat itu rumah anda seperti kapal pecah? Tidak; seseorang yang ingin menjumpai Tuhan sebagaimana ada-Nya, pasti tergerak untuk berbenah, seturut dengan perkataan rasul Yohanes (I Yoh. 3:3).

Jadi mari kita menjaga hati kita tetap murni! Marilah kita membersihkan sampah dan debu yang mengendap di sana, marilah menyikat lantainya, mengelap kaca dan membukanya, supaya cahaya dan udara segar bisa masuk ke dalam ruangan seperti kita menyiapkan ruangan kudus bagi Tuhan. Lalu marilah memakai baju yang layak, agar kita tidak bau menyengat dan mendapati diri kita diusir keluar (Lukas 13:28).


Biarlah ini menjadi perjuangan kita di setiap hari dan jam. Dengan cara inilah baru kita bisa melaksanakan perintah Tuhan sendiri yang Ia sabdakan melaui Rasul-Nya yang kudus Yakobus: Murnikanlah hatimu (4:8). Dan Rasul Paulus menasihatkan kita untuk membersihkan diri dari segala kecemaran daging dan roh (2 Kor 2). Sebab dari dalam hati kitalah, dari sanalah keluar segala pikiran jahat, percabulan, perzinahan, pembunuhan, pencurian, kelicikan, kefasikan, murka, keinginan jahat, penistaan, kesombongan dan kebodohan. Hal-hal yang ada di dalam hati inilah yang menajiskan manusia (bdk. Markus 7:21-3). Sebab itu Dia menegur orang Farisi: Bersihkanlah dahulu bagian dalam cawan dan pinggan, agar bagian luarnya ikut menjadi bersih juga (Matius 23:26).

Saat kita mengikuti nasihat agar memulai bersih dalam diri, kita harus sadar behwa kita membersihkan pun bukan demi pemuasan diri. Bukan untuk kepuasan pribadilah kita membersihkan dan merapikan ruang tamu kita, namun agar sang tamu menikmatinya. Apakah dia akan merasa nyaman di sini? Kita harus menanyakan ini kepada diri sendiri. Apakah Dia akan mau tinggal? Segala pikiran pertimbangan kita ialah tentang Dia.

Maka dengan cara ini kehendak kita akan di taruh di belakang dan tidak mengharapkan imbalan.
Ada tiga jenis tabiat manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Nikitas Stethatos: Manusia daging, yang hanya ingin hidup demi kesenangannya, bahkan dengan harga melukai orang lain; manusia alamiah, yang sekedar membuat diri dan orang lain senang; dan manusia sejati, yang hanya ingin menyenangkan Allah, bahkan saat itu berarti membuat diri terluka.

Tabiat yang pertama adalah tabiat manusia yang rendah, yang kedua adalah wajar dan yang ketiga ada di atas; itu adalah kehidupan di dalam Kristus.
Manusia sejati berpikir secara rohani; Harapannya ialah mendengar sukacita para malaikat bahwa 'seorang pendosa bertobat' (Lukas 15:10), dan pendosa itu adalah dirinya sendiri. Demikianlah kiranya perasaan anda, demikianlah kiranya anda menggantungkan harapanmu, sebab Tuhan memerintahkan kita agar menjadi sempurna sebagimana Bapa kita yang di sorga juga sempurna! (Matius 5:48), dan untuk mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (6:33).

Sebab itu janganlah kita berhenti sampai kita sudah mengerat bagian-bagian dalam diri kita yang adalah tabiat daging. Tujuan kita adalah melacak tanda-tanda kebuasan yang ada di dalam diri kita itu dan menganiayayanya tanpa lelah. Sebab daging berkehendak melawan Roh dan Roh berbanding terbalik dengan daging (Galatia 5:17). Jika anda kuatir akan menjadi munafik dari pengerjaan akan kesalehan kita, atau cemas akan menjadi sombong rohani, periksalah dirimu sendiri dan perhatikanlah bahwa orang munafik (merasa diri benar) sebenarnya buta, atas ketidakmampuannya.

Sunday, February 19, 2017

Bab Empat: Peperangan yang Hening dan Tak Kasat Mata



Kini setelah kita memahami medan tempur yang akan kita hadapi, apa dan dimana sasaran kita, dan kita juga paham betul mengapa peperangan yang akan kita hadapi ini disebut sebagai peperangan tak kasat mata. Semua peperangan ini terjadi di dalam hati kita, dalam keheningan jauh di relung jiwa kita; dan ini juga menjadi hal pokok yang snagat penting untuk kita ingat wejangan dari para Bapa Suci: jagalah mulut kita dalam keheningan akan rahasia kita. Jika orang sauna membuka pintunya, maka panas uapnya akan memudar dan sia-sia saja mengharapkan panasnya uap.

Maka rahasiakanlah maksud muliamu ini. Jangan pamerkan kehidupan dan niatan baru yang engkau jalankan ini. Biarlah ini semata antara Anda dan Allah. Tentunya, satu pengecualian kepada bapak rohanimu. Keheningan sangatlah perlu karena segala omongan mengenai diri sendiri memupuk subur perhatian terhadap diri sendiri dan rasa mengandalkan diri. Hal-hal inilah yang justru harus dihempaskan dari mulanya! Melalui keheningan, rasa berserah kita bertumbuh di dalam dia yang melihat apa yang tersembunyi; melalui kesenyapan seseorang berbicara kepada Dia yang dapat mendengar tanpa kata-kata. Datang kepada-Nya adalah bagian dari ikhtiarmu; dan biarlah hanya di dalam Dia segala pengharapanmu, dalam kekekalan tidak akan ada kata-kata yang cukup untuk memuliakan-Nya.

Sadarilah bahwa segala yang terjadi denganmu, baik itu besar ataupun kecil, dikirimkan oleh Allah untuk menolongmu dalam pertempuran ini. Hanya Dia yang benar-benar mengerti apa yang engkau perlukan dan apa yang sesungguhnya engkau butuhkan saat ini: kesulitan atau kesejahteraan, ujian dan kejatuhan. Tidak ada sejatinya yang terjadi secara acak, yang tidak dapat Anda ambil pelajarannya; segera mengertilah hal ini, sebab dengan cara inilah imanmu bertumbuh di dalam Tuhan yang Anda ikuti.

Wejangan lain dari para kudus: engkau mesti melihat dirimu sebagai kanak-kanak yang mulai belajar bicara dan belajar berjalan. Segala kebijaksanaan duniawi dan skill yang kita miliki akan sia-sia saja dalam peperangan yang menantimu, dan pula semua status sosialmu dan kekayaanmu tidak berpengaruh. Kekayaan yang tidak digunakan untuk melayani Allah merupakan beban, dan pengetahuan yang tidak mengubahkan hati itu gersang dan justru membahayakan, sebab hal itu penuh prasangka. Itulah jenis pengetahuan yang 'telanjang' sebab tidak diselimuti kehangatan busana kasih. Anda harus menanggalkan pengetahuan diri yang semu, menjadi sederhana agar bertambah bijak, dan menjadi miskin di hadapan Allah agar diperkaya dengan iman, menjadi yang lemah agar menjadi kuat dalam kesejatian.

Sunday, February 5, 2017

Bab Tiga: Taman Hati



Hidup yang baru dalam pertobatan yang kita tapaki ini sering diumpamakan sebagai sebuah kebun. Tanah yang dia kerjakan itu dari Allah, begitu juga benih dan sinar mentari bahkan juga daya untuk bertumbuh. Namun usaha dan kerajinan diserahkan kepada pekerjanya.

Jika sang petani ingin agar panennya melimpah, dia harus berangkat pagi buta dan kembali sampai petang, menyiangi dan mencabuti rumputnya, mengairi dan membasmi hama, sebab perihal mengerjakan hasil dikelilingi banyak bahaya. Dia harus bekerja tanpa lelah, tekun, waspada, selalu siap; namun lebih-lebih lagi seluruh hasil panen itu bergantung kepada Allah.

Taman yang kita kerjakan dan pelihara adalah taman di hati kita; panennya adalah kehidupan kekal. Ialah kekal sebab ia berada di luar ruang dan waktu, tidak tergantung keadaan eksternal. Inilah hidup dalam kebebasan sejati, hidup dalam kasih dan terang, yang tidak mengenal batas, maka itu disebut kekal. Itulah kehidupan yang rohani dan di ranah rohani: wujud kodrat ilahi. Hidup itu dimulai dari sini namun tidak akan berakhir, tidak ada kekuatan di bumi yang mampu merampasnya, dan itu ditemukan di dalam hati manusia.

Tekanlah dirimu, kata St. Ishak dari Suriah, dan musuh-musuhmu nisacay mundur saat engkau mendekat. Berdamailah dengan dirimu, maka langit dan bumi niscaya berdamai denganmu. Berpeluhlah untuk masuk ke dalam ruang maha kudus di dalam hatimu dan engkau akan melihat sorga, sebab mereka itu sama dan satu, dan ketika engkau masuk, engkau memasuki hal yang sama. Tangga kepada Kerajaan itu ada dalam engkau, tersembunyi dalam jiwamu. Hempaskanlah beban dosa di dalam hatimu dan engkau akan menemukan jalan naik yang akan memungkinkan kenaikanmu. Kerajaan sorgawi yang dibicarakan sang santo inilah nama lain dari kehidupan yang kekal. Juga di sebut kerajaan kebenaran, Kerajaan Allah, atau sederhananya: Kristus. Hidup di dalam Kristus adalah hidup dalam kekekalan.

Tuesday, January 31, 2017

Bab Dua: Kekuatan Manusia saja Tak Cukup


Para Bapa suci berseru dengan satu suara: Jangan pernah mengandalkan kekuatan kita sendiri. Perang yang ada di hadapan kita ini sangatlah berat, dan kekuatan manusia kita semata tak akan dapat cukup untuk menghadapinya. Jika Anda mengandalkannya, secara serta merta kita akan jatuh dan jadi malas untuk melanjutkan pertempuran. Hanya Allah yang bisa memenangkan pertarungan ini untuk memenangkan kita.

Keputusan untuk tidak mengandalkan kekuatan sendiri ini berat pada awalnya. Namun penghalang ini harus ditaklukan, jika tidak, kita dipastikan tak akan dapat maju melanjutkan perjuangan rohani. Sebab amat sulit untuk membangun seorang manusia yang merasa bahwa dirinya sudah hebat, bisa semua dan tidak memerlukan bantuan!
Karena tembok berupa rasa berpuas diri, maka cahaya tidak bisa menembusnya. "Celakalah mereka yang memandang dirinya bijaksana, yang menganggap dirinya pintar, seru nabi Yesaya (5:21). Demikian juga Rasul Paulus menyampaikan peringatan: " Janganlah menganggap dirimu pandai!" (Roma 12:16). "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil".

Kita harus merendahkan diri kita, agar jangan terlalu percaya diri. Seringkali rasa ini tertanam begitu dalamnya sehingga kita tidak dapat melihat bagaimana hal itu menguasai pikiran kita. Justru rasa ego dan berpusatnya kita pada diri sendiri yang menyebabkan banyak masalah, kurangnya kerelaan kita akan penderitaan, kekecewaan kita dan kelelahan jiwa dan raga.

Mari kita tilik diri kita sendiri, dan lihatlah bagaimana terikatnya kita akan hal-hal yang menyenangkan diri sendiri. Kebebasan kita justru menjadi kekang kita karena kita termakan hasrat untuk memuaskan diri sendiri. Lalu kita berkeliaran, seperti raga yang sudah terpasung dari pagi hingga petang. "Saya mau minum," "Saya mau bangun," "Saya mau baca korang." Maka kita dipimpin oleh satu keinginan kepada keinginan yang lain. Begitu rentannya pula kita akan rasa tidak senang, tidak sabar atau kemarahan jika keinginan itu terhalangi.
Jika engkau melihat lebih dalam lagi ke dalam dirimu, kita akan melihat hal yang sama. Anda bisa menyadarinya saat merasakan kemarahan saat orang lain tidak sependapat, bahkan melawan kita. Begitulah kita hidup di dalam kekangan kehendak sendiri. Namun dimana ada Roh Allah, ada kemerdekaan (11 Korintus 3:17).

Bagaimana bisa hal yang baik bisa keluar dari ego yang sedemikian mengekang? Bukankah Tuhan mengajarkan kepada kita untuk mengasihi sesama kita seperti diri sendiri, dan mengasihi Allah di atas segalanya? Namun apakah kita sudah melaksanakannya? Bukannya kita malah jauh lebih tertarik mengisi pikiran kita untuk mengurusi hasrat sendiri?
Jadi jelaslah bagi kita bahwa tak ada satupun yang baik yang bersumber pada diri kita sendiri. Sewaktu-waktu ketika ada tidakan dan pikiran yang mulia terpintas, kita harus sadar bahwa itu bukan dari diri kita sendiri, melainkan terpancar dari mata air sumber kebaikan dan dialirkan melalui anda: itu adalah rahmat Sang Pemberi hidup. Begitu pula kekuatan untuk mengenakan pikiran yang baik menjadi perbuatan bukanlah daya sendiri, namun dianugerahkan kepadamu oleh Tritunggal Mahakudus.

Monday, January 23, 2017

Pendahuluan dan Bab Satu dari Buku Way of Ascetics [Jalan Penyangkalan Diri]

Jalan Penyangkalan Diri 
oleh Tito Colliander




Pendahuluan

Jalan Penyangkalan diri (Way of the Ascetics) merupakan perkenalan akan jalan sempit yang memimpin kepada hidup. Itu merupakan hal yang sederhana namun penjelasan yang sangat dalam mengenai kehidupan rohani yang diajarkan oleh Gereja Orthodox selama lebih dari 2000 tahun. Tulisan ini merupakan himpunan dari pengalaman-pengalaman bapa dan ibu asketis di padang gurun, dan inspirasi yang dalam kepada hidup rohani dari oranng-orang kudus. Pengingatan akan tulisan 'Tangga' oleh St. Yohanes Klimakus, "Jalan Penyangkalan diri" menggerakkan kita untuk memulai perjuangan kita naik dari keduniawian kepada Kerajaan Sorga.

Dalam zaman kita yang sangat dipengaruhi oleh new age (zaman baru) dan agama-agama buatan sendiri, gaya anjuran bapa-bapa gereja nan sederhana sangatlah menyejukkan. Dengan kondisi zaman kita yang rindu akan kesederhanaan dan mudah dipahami adalah hal yang sangat indah untuk mendapatkan inspirasi yang sederhana dan mudah dicerna dari mereka. Kami menyediakan bahan ini di internet untuk pertama kali dengan maksud agar mereka yang tergerak untuk sungguh-sungguh menghidupi kehidupan rohani dapat menerima petunjuk sederhana yang dapat menolong kita memulai berjalan di jalan yang telah teruji oleh waktu ke dalam Kerajaan Allah yang mulia.

Catatan dari Pengarang buku ini:

Karya ini dilandaskan pada tulisan-tulisan Bapa-bapa suci dari Gereja Orthodox dan berisi kutipan-kutipan langsung dan bebas, dengan tafsiran dan aplikasi praktis seperlunya.
Kutipan Alkitab diambil dari Authorized Version (dalam bahasa Inggris- penerjemah menggunakan Terjemahan Baru LAI-red), Mazmur teks asli berdasarkan Psalter Orthodox (Bahasa Indonesia menggunakan Mazmur LAI TB).


BAB Satu: Ikhtiar Yang Mantap dan Niat Teguh


Ilustrasi: Patriakh Pavle dari Serbia, penuh kenangan akan kesalehan. 


Jika anda ingin menyelamatkan jiwamu dan mendapatkan hidup yang kekal, bangkitlah dari rasa malasmu, buatlah tanda Salib dan ucapkanlah:

"Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin".

Iman datang bukan semata dari merenung-renung melainkan melalui bertindak. Bukan kata-kata atau olah pikir belaka namun pengalamanlah yang mengajarkan kita akan Allah. Seperti ini: jika kita ingin udara sejuk dari luar masuk ke ruangan kita, maka kita harus membuka jendelanya; untuk memperoleh kulit cokelat merona kita harus keluar rumah dan mendapat sinar matahari. Menerima iman tidaklah jauh berbeda dengan itu; kita tidak akan sampai ke sana kalau hanya duduk manis ongkang kaki dan menunggu, demikian kata para bapa suci. Kita perlu meneladani si Anak Bungsu yang hilang. "Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. (Lukas 15:20)

Seberat apapun dan sedalam apapun kita terjerembab dalam kubangan keduniawian, tidak ada kata terlambat. Bukan tanpa alasan bahwa dalam Alkitab, Abraham berumur 75 tahun saat menerima perintah Allah untuk pergi ke Kanaan, begitu juga dalam perumpamaan Kristus, pekerja yang datang pada jam yang kesebelas mendapatkan upah yang sama dengan dia yang datang paling pertama.

Jangan pula beranggapan ini terlalu cepat[Nanti saja lah...-red].Lihat saja penyebab kebakaran hutan. Jika terlambat sedikit saja, tamatlah riwayatnya. Jiwa kita juga demikian: tidak bisa dibiarkan berlama-lama diberangus dan habis terbakar.

Saat dibaptis, anda menerima perintah untuk maju berperang dalam peperangan rohani melawan musuh dari jiwa kita; angkatlah senjata sekarang. Sudah terlalu lama kita menunda-nunda, tenggelam dalam rasa enggan dan malas sehingga waktu berharga kita terbuang percuma. Marilah kita mulai lagi dari awal: sebab kita sudah menyandarkan mahkota kemurnian yang kita terima dalam baptisan usang dan berdebu karena diabaikan.

Bangunlah, dengan segera, tanpa menunda-nunda lagi. Jangan tunda hal itu sampai "malam ini", atau "besok", atau "nanti, kalau saya sudah selesai dengan apa yang saya kerjakan sekarang."

Jangan. Sekarang juga adalah waktunya. Saat kita membuat niat dan ikhtiar, tunjukanlah dengan tindakan sederhana bahwa anda menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia yang baru. Bangkitlah, dan tanpa gentar katakanlah: "Ya Tuhan izinkanlah hamba memulainya sekarang, tolonglah hamba." Sebab apa yang sangat kita perlukan tidak lain adalah pertolongan dari Allah... Berpeganglah pada tujuan kita ini dan jangan menoleh ke belakang. Kita diberikan peringatan yang jelas akan hal ini dalam kisah istri Lot yang berubah jadi tiang garam saat menoleh ke belakang (Kejadian 19:26). Anda sudah melepaskan manusia lama; biarlah kulit lama itu dibuang. Sebagaimana Abraham, anda telah mendengarkan suara Tuhan: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; (Kejadian 12:1). Ke arah tanah perjanjian itulah hendaknya kita mengarahkan perhatian kita.    

Saturday, January 7, 2017

Homili Tahun Baru dari St. Barsanafius

Homili Tahun Baru disampaikan tahun 1913 oleh St. Barsanafius dari Optina,


St. Barsanafius dari Optina, sumber

"Saya mengucapkan selamat tahun baru kepada umat sekalian yang berkumpul di sini. Selamat menerima sukacita yang akan dilimpahkan Tuhan pada tahun yang baru. Selamat menerima juga duka dan perjuangan yang tak terelakkan yang akan mengunjungi kita di tahun ini: mungkin hari ini, besok, atau dalam waktu dekat. Namun janganlah menjadi bimbang atau takut karena kedukaan atau sengsara itu.

Kesedihan dan sukacita terjalin ikat satu sama lain. Mungkin hal ini terlihat aneh bagimu, namun ingatlah akan kata-kata Penyelamat kita: Seorang perempuan berduka cita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia (Yohanes 16:21). Hari berganti menjadi malam, malam menjadi siang, cuaca buruk menjadi cerah; begitu juga duka cita diganti dengan suka cita, suka cita bertukar dengan duka cita.

Rasul Paulus mengatakan kata-kata yang keras kepada mereka yang tidak mau menanggung kesengsaraan apapun demi Allah: Sebab jika engkau dibiarkan tanpa penghukuman, engkau bukanlah anak yang sah. (Ibrani 12:6-8)  Janganlah menjadi depresi; biarlah yang depresi adalah mereka yang tidak percaya kepada Allah. Bagi mereka, tentu saja duka cita dan sengsara adalah hal keliru, sebab mereka hanya mengenal kesenangan dunia. Namun orang-orang yang percaya kepada Allah janganlah hilang harapan, sebab melalui dukacita dan sengsara itu mereka menerima hak sebagai anak-anak yang sah, yang tanpanya seseorang tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Sorga.

"Menginjak-injak perintah yang cemar, Tiga Pemuda Yahudi di Babilonia ditopang oleh kesalehan, tiada takut akan ancaman perapian, namun berdiri di tengah-tengah nyala api, mereka bernyanyi:' Terberkatilah Engkau ya Allah dari para bapa leluhur kami.'" (Irmos Kelahiran Kristus, Irama 1, sloka 7)

Bisa jadi dukacita adalah ancaman akan api, atau pencobaan macam-macam, namun kita tidak usah takut, justru kita sudah semestinya  berdiri tegap seperti pemuda-pemuda yang saleh itu dan bernyanyi bagi Allah dalam sengsara kita, dengan iman bahwa semuanya dikirimkan oleh Allah untuk keselamatan kita.

Kiranya Allah menyelamatkan kita sekalian, dan membimbingmu ke dalam Kerajaan Terang yang Takteredupkan! Amin."