Wednesday, June 7, 2017

Bab Sebelas: Perang Rohani sebagai Alat menuju Tujuan



Dengan melepaskan ikatan dengan dunia luar ini, kita juga membebaskan diri dari ikatan batiniah. Ketika kita melepaskan diri dari kegelisahan eksternal, hati kita dimerdekakan dari kesakitan di dalam. Karena itulah kita harus mengerti bahwa segala peperangan ini hanyalah suatu alat mencapai tujuan yang lebih besar. Kita harus ingat bahwa hal itu bukanlah baik atau buruk pada dirinya sendiri; para kudus sering mengumpamakan hal ini seperti resep obat. Seberapapun berat dan sakit hal ini, kita mesti harus menjalaninya. Selalu mestilah kita ingat bahwa kita tidak bisa menghasilkan kebajikan dari usaha kita sendiri. Sebab bagaimana mungkin orang yang karena kecerobohannya terjatuh dalam jurang pertambangan serta mencoba mendapatkan jalan keluar dengan cangkul dan cikrak disebut sebagai hasil usahanya? Bukankah biasanya orang-orang seperti ini bisa mungkin ditolong jika ada pertolongan dari luar? Kalau tidak demikian, bukankah hal itu konyol? Dari gambaran ini kita bisa memperoleh kebijaksanaan. Peralatan itu ibarat sarana keselamatan, perintah-perintah Injil dan Misteri(sakaramen) dalam gereja, yang dianugerahkan kepada umat percaya selepas dia dibaptis.


Jika itu tidak digunakan, maka tidak akan berguna. Sebaliknya saat itu digunakan pada saat yang tepat, maka itu akan membimbing kita kepada kebebasan dan terang sejati. Kita harus menghadapi berbagai pergumulan agar dapat masuk ke dalam kerajaan Allah (Kisah 14:22): Kita mesti berlaku sebagaimana narapidana, menyerahkan hak-hak akan istirahat dan tidur serta kesenangan; kita mesti seperti ia yang terus terjaga dan berjaga-jaga di setiap saat. Kita tidak boleh melepaskan cangkul dan peralatan di tangan kita: ada doa-doa, puasa, berjaga-jaga dan berusaha untuk memelihara dan melaksanakan segala yang telah Dia perintahkan (Mat 28:20). Lebih lagi jika hati ini kesulitan dalam menjalankan disiplin, kita harus menggunakan segenap kehendak kita untuk menundukan diri kita jika kita sudah berada di luar kewajaran. Masakkah seorang narapidana mendapatkan hadiah dari kerja kerasnya? Pantaskah ia mendapatkannya> Jerih lelahnya itu sendirilah hadiahnya. Dalam kasih akan kebebasan yang dia rasakan itu, dalam harapan dan iman yang membuat peralatannya tetap digenggam di tangan. Dengan jerih lelah itu, iman, pengharapan dan kasih bertumbuh: semakin tekun dia ini, semakin dikit celah yang dia gunakan bagi diri sendiri, semakin besarlah hadiahnya. Dia semakin sadar bahwa dirinya hanyalah narapidana diantara para napi yang lainnya; dia tidak membedakan dirinya dari napi yang lain: dia adalah seorang pendosa diantara para pendosa dalam cawan bumi. Namun bedanya, alih-alih 'pasrah' dan menghambur-hamburkan waktu dengan tidur atau bermain kartu, dia terus tekun bekerja.


Dia menemukan harta yang sangat berharga dan terus berusaha menggalinya (Mat 13:44); dia membawa kerajaan Allah ini di dalam dirinya: kasih, pengharapan dan iman yang akan membawanya kepada angin kebebasan. Kendati dia hanya melihat kebebasan itu dari cermin (1 Kor 13:12), namun sejatinya dia telah merdeka: Kita diselamatkan melalui iman (Roma 8:24). Namun pengharapan yang sudah dapat dilihat bukanlah pengharapan lagi namanya, demikian kata para rasul, agar kita dapat mengerti apa-apa saja yang tercakup di dalamnya. Ketika seorang narapidana bebas dari kurungan, dia sudah bukan lagi napi diantara para napi di atas bumi ini. Dia akan mendapati dirinya dalam dunia yang merdeka: Kemerdekaan yang di dalamnya Adam diciptakan dan yang dipulihkan dalam kita dalam Kristus. Seperti napi yang demikian, kita telah merdeka dalam pengharapan kita, namun pemenuhan dari keselamatan kita hanya terletak setelah kita mengakhiri kehidupan kita di bumi. Hanya di sanalah kita bisa mengatakan dengan yakin dan pasti: Saya selamat! Sebab ada tertulis, "Jadilah sempurna sebagaimana Bapa-Mu yang di sorga adalah sempurna (Mat 5:48) sebuah pemenuhan yang tidak dapat dipenuhi di atas bumi ini. Lantas mengapa perintah itu diberikan kepada kita? Para kudus menjawab: agar kita tergerak untuk berjerih lelah mengerjakannya mulai dari sekarang, namun dengan membawa kekekalan itu di dalam benak kita. Tujuan dari kemerdekaan manusia bukanlah di dalam dirinya sendiri atau di dalam sesamanya manusia, namun di dalam Allah, kata St. Theofan. Sebab seruan kepada kebebasan itu berbunyi: Bertobatlah! Dan sebuah panggilan juga diberikan; "Datanglah kepadaku semua kalian yang letih dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu (Mat 11:28). Letih karena apa? Apakah karena perjuangan sementara kita? Berbeban berat karena apa? Dengan kekuatiran dunia? Tidak demikian! Jawab para kudus. Sebab lantas tidak nyambung dengan apa yang selanjutnya dikatakan oleh Tuhan, "Pasanglah kuk yang daripada-Ku dan belajarlah daripadaku, yang tidak pernah dililit oleh kekuatiran duniawi saat aku menapakkan kaki-Ku di bumi. Apakah sekiranya yang diterima oleh mereka yang berjerih lelah mengerjakan keselamatan mereka dan berbeban berat karena perlawanan dunia, baik dalam maupun dari luar dirinya. Mereka yang memasang kuk dari Kristus dan menghidupi kehidupan yang Dia hidupi, dengan demikian bukan dari para malaikat atau dari manusia ataupun kitab-kitab, melainkan dari Tuhan sendiri, dari Hidup-Nya dan terang-Nya dan perbuatan-Nya; siapa lagi yang bisa mengatakan bahwa Aku lemah lembut dan rendah hati dan tidak meninggikan diri akan apa yang bisa kita lakukan dan katakan- Apakah yang semua orang ini dapatkan? Mereka akan menemukan kelegaan dalam jiwa mereka. Tuhan sendirilah yang memberikan kelegaan itu. Mereka akan menemukan kebebasan dari pencobaan, kekuatiran, perendahan, ketakutan, kecemasan, dan apapun yang mengganggu jiwa manusia. Inilah penjelasan St. Yohanes Klimakus. Dan telah dibagikan oleh umat Kristen kepada satu sama lain. Sebab pengalaman sudah membuktikan kepada kebenaran yang mendasar bahwa kuk dari Kristus itu ringan bagi mereka yang mengasihi-Nya. Namun hanya bagi mereka yang bertahan sampai akhirlah yang akan diselamatkan (Mat 10:22), bukan bagi mereka yang acuh dan malas. Janji itu bukan untuk mereka. Karena itulah janganlah kita menjadi kendor. Kita harus bertekun, ulet, selalu bergegas untuk melakukan jerih lelah dalam Tuhan, dengan mengingat bahwa jerih lelah kita tak akan sia-sia (1 Kor. 15:58).

Setelah kita memulai, janganlah berhenti untuk mengerjakan pekerjaan yang layak bagi pertobatan. Sehingga kita tidak lengah dan terpukul mundur.

No comments:

Post a Comment