Diterjemahkan dari tulisan Fr. Stephan Freeman, dari blognya yang ternama, Glory to God for All Things [Kemuliaan Bagi Allah atas segala sesuatu], dapat dibaca di sini
*Tanda [] ditambahkan oleh penerjemah demi memperjelas.
Dari antara misteri-misteri agung di dalam Perjanjian Baru, misteri amat mengherankan adalah seputar Bunda Allah. Tak ayal sebagian segmen dari kekristenan ‘modern’ menjadi kebas dan tak paham akan hal ini oleh karena adanya tradisi perlawanan terhadap tradisi pendahulunya. Ketumpulan dan ketulian inilah yang membuat saya sedih, apalagi hal itu menunjukan adanya kegersangan rohani dalam pengalaman iman yang lebih luas. Beberapa tahun setelah menjadi bagian dari Gereja Ortodoks, rekan Anglikan saya bertanya apakah saya sempat terpikir untuk kembali lagi. Dia tidak paham betapa anehnya pemikiran semacam itu. Namun terbesit dalam hati saya, keberatan terbesar saya adalah ke’tiada’an Maria di perkumpulan itu. Lantas saya mengutarakan tentang bagaimana saya tidak mungkin berpikiran untuk meninggalkan ‘ibu’ saya sendiri.
Saya tidak bisa membayangkan kebingungan orang-orang yang begitu asing dengan Maria ketika melihat umat Kristen Ortodoks atau Katolik. Saya tidak dalam kapasitas membela umat Katolik (karena mereka mampu untuk menjelaskan iman mereka sendiri). Namun utamanya, saya merenungkan tidak ada yang menyamai kehidupan rohani yang meneladani hidupnya [Bunda]. Semua pengalaman penghormatan [terhadap Bunda –red] nampaknya telah lenyap dalam pola pemikiran Protestan. Saya sering menggunakan contoh dari rasa setia terhadap negara, atau analogi-analogi lain yang saya pakai untuk menjelaskan ini. Namun saya justru makin yakin kalau pengalaman penghormatan ini tidak ada taranya dan tak terutarakan.
Sejatinya, saya tidak bisa merenungkan Maria secara terpisah dari Kristus. Dia bukan pribadi terpisah dan ditelaah seorang diri. Gelar yang ditegaskan dalam Konsili Ekumenis ketiga, beliau sebagai Sang Theotokos atau “Sang Pemberi-Lahir Allah”. Dengan maksud yang sama saat kita mengatakan bahwa Kristus “lahir dari Sang Perawan Maria”. Kristus adalah Allah menjadi manusia, dan kemanusiaan-Nya sungguh-sungguh dan pasti berasal dari Maria. Dia adalah tulang dari tulangnya, daging dari dagingnya. Adalah layak dan pantas bagi kita bangsa manusia bahwa saat kita berbicara tentang Tubuh dan Darah-Nya, kita tidak bisa melakukannya tanpa berkaitan dengan Maria.
Namun terkadang ungkapan ini bisa menjadi sekedar rangkain kata dalam doktrin. Doktrin selalu merupakan pembahasaan dari kenyataan, dan kita tidak sekedar menginginkan ‘pembahasan’ yang kita inginkan adalah kenyataanya. Tubuh dan Darah Kristus bukanlah bayangan angan-angan. Tubuh dan Darah Kristus adalah kehangatan yang amat manis yang dialami secara nyata oleh kaum beriman. Misal, bagaimana saya bisa menjelaskan pengalaman akan Perjamuan Kudus kepada orang yang tak percaya? Tidak ada kata yang bisa menggambarkan secara lugas tentang pengalaman itu.
Penghormatan mula-mula kepada Maria yang tersebar luas dapat ditemukan dalam bait-bait nyanyian yang sudah dikenal luas sebelum pertengahan tahun 200an Masehi. Kidungan ini masih menjadi nyanyian penting dalam Ortodoksia sampai hari ini:
Dalam naungan belas kasihanmu
Kami berlindung ya Theotokos
Janganlah abaikan permohonan kami dalam masa-masa sukar
Namun lepaskanlah kami dari marabahaya,
Ya yang termurni dan terberkati
Mereka yang mengklaim bahwa kidungan ini sarat dengan muatan pagan nyata-nyata buta sejarah. Pertengahan tahun 200an adalah abad yang agung dari para martir, saat Gereja di bawah gerusan dan pertentangan dengan paganisme (kekafiran) resmi dari Kekaisaran Romawi. Benar-benar tidak ada catatan sejarah yang sah menyatakan bahwa Gereja meniru tradisi pagan ke dalam iman mereka pada masa ini. Menghormati Maria, termasuk juga memohon syafaatnya, sangatlah sejalan dan selaras dengan nurani Gereja Purba.
Namun apa maksud dari seruan akan belas kasihan Theotokos ini? Darimana Gereja dapat tahu akan hal ini? Sesungguhnya seruan akan belas kasihan ini telah secara nyata dijelaskan, sebab hal itu bahkan sudah dinubuatkan Kitab Suci.
Saat Kristus dibawa dan diserahkan ke bait Allah (umur 40 hari), Maria telah diperingatkan akan perannya yang telah dinantikan di Israel, dan diberitahu bahwa “pedang akan menembus jiwamu juga (Lukas 2:34-35). “Pedang” ini bukan sekedar mengacu kepada duka keibuan. Kedekatan (kemanunggalan)nya dengan Kristus dijabarkan dalam kata-katanya yang tulus dan renadah hati, menempatkannya secara begitu dalam dan unik pada peristiwa Salib. Kristus didera dan terluka, namun sadarkah kita bahwa sebagai ibu, dia jauh lebih terluka lagi? Nurani dan pengalaman Gereja menerangkan bahwa dia juga begitu peka akan penderitaan dari semua umat.
Kata yang diterjemahkan sebagai belas kasihan dalam kidung ini (εὐσπλαγχνία) menarik untuk dicermati. Kata ini adalah buah usaha keras untuk menerjemahkan kata Ibrani (רַחֲמִים rachamim) dan mengacu lebih kepada rasa sakit yang mendalam berhubungan dengan rahim. Hal ini berhubungan dengan inti dari penderitaan keibuannya yang amat mendalam.
Rasa takut dan enggan untuk menyelami pengalaman kasih kepada Bunda ini, menurut saya (penulis, Rm Stephen- red), disebabkan oleh tuduhan adanya “pemujaan (bahkan penyembahan) Maria,” ditunjang dengan prasangka bahwa penghormatan jenis apapun yang kita tunjukan kepada seseorang atau sesuatu selain Allah menyatakan persaingan dengan Allah, dan menodai kemuliaan-Nya. Mereka mungkin bisa menemukan secara historis, wujud penghormatan yang berlangsung berabad-abad (mis. Ikon, lilin, kidungan, doa permohonan, dst.) namun sejatinya tidak pernah ada niat pada abad manapun untuk umat menunjukkan penyembahan. Sebab jika begitu niatnya, pasti sudah sejak awal didapuk sebagai bidat yang terburuk sepanjang masa.
Namun mereka telah lupa [atau tidak menyadari] bagaimana cara Kekristenan rasuli mula-mula menunjukan penghormatan dan penyanjungan. Kitab Suci tidak pernah menyebutkan Allah sejati --dibagian manapun-- sebagai Allah yang ‘sendirian’. Alih-alih, Dia selalu dinyatakan sebagai Tuhan Zebaoth, Allah dari Balatentara Sorgawi (Lord of Hosts dalam bahasa Inggris). Allah dinyatakan dalam Kristus sebagai Allah relasional yang menyatakan diri-Nya sebagai Kasih. Penghormatan dan penyanjungan yang diberikan kepada para santo-santa di dalam Gereja secara sederhana dapat dipahami sebagai ungkapan kasih secara liturgis [terhadap Orang-Orang terdekat-Nya]. Ini bukanlah bentuk penyembahan apapun namanya. Perkumpulan kristen modern sayangnya sudah terasingkan dari pemahaman akan tahta Kerajaan Kristus, dan membayangkan seakan-akan Kerajaan-Nya sebagai suatu mana suka dalam ‘demokrasi’ umat [dimana umat pilih-pilih ide yang mereka suka dan menyampakkan ide yang sulit] atau Dia sebagai Sang Raja tanpa Para Pembesar-Nya [ingat akan sabda Kristus, “Dimana Aku berada, disitu Pelayan-pelayanku berada – red]. Mereka ini lupa akan kehormatan Ibu Suri[dalam Kerajaan] dan kehormatan para Sahabat Raja. Sederhananya, beberapa orang menjadi canggung dan ceroboh dalam pemahaman rohaninya dan menjadikan diri orang asing bagi Kerjaan Kristus.
Allah adalah Allah yang Maha Pemurah, maha pengampun. Dia tidak membiarkan kita untuk menghancurkan ethos(tata cara/tata krama) dan kesaksian para penerus dari Rasul-rasul. Kenyataan dari Kerajaan-Nya tinggal tetap. Orang-orang ini dapat menggali lagi apa yang telah hilang, dengan cara memulainya, misal, dengan pertimbangan ulang doktrin dan praksis berkenaan dengan perihal ini (tanpa prasangka buruk dan salah duga yang ada). Namun hanya waktu dan kebiasaanlah yang bisa memulihkan hal-hal relasional semacam ini.
Bisa jadi dengan mengidungkan kembali dengan hati tulus, kidungan purba diatas yang sudah mendapatkan tempat pada bibir mulut dan hati para orang-orang kudus berabad-abad lamanya itu dapat menjadi awal yang baik bagi mereka yang ingin belajar [menyelami pengalaman kasih dengan Bunda].
Kita perlu teman-teman sejati yang bisa kita temui [para kudus]!
Ditulis dalam rangka perayaan Pesta Masuknya Bunda Allah ke Bait, 21 November.
No comments:
Post a Comment